" Maapkan aku Budi. Hubungan kita sampai disini saja.
Mulai saat ini kita menjadi teman biasa."
Kata - kata Mona, masih terngiang - ngiang di benak Budi.
Entah kenapa kalimat yang diucapkan Mona itu lebih mudah diingat kembali oleh
Budi daripada menghafalkan rumus Fisika dan matematika.
Dua minggu lalu. Di sebuah warung makan khusus anak muda di
tengah kota. Mona mengucapkan kalimat perpisahan itu. Budi yang awalnya sangat
senang sekali karena tumben Mona mengajak keluar nge-date, toh biasanya Budi yang
selalu mengajaknya dahulu, mengira Mona bakal mengajaknya melakukan sesuatu
yang Romantis. Tetapi harapannya pupus sudah saat kalimat itu Mona ucapkan di
tengah harapannya yang hancur.
Tiga bulan lalu, hati Budi serasa berbunga - bunga. Seorang
wanita dari kelas lain yang sudah dianggap primadona, mendadak melayangkan rasa
sukanya kepada Budi dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Seperti mendapat
berkah, Budi benar - benar tidak bisa menolak kesempatan emas seperti ini.
Teman - teman Budi pun banyak yang terheran - heran, mengapa hanya Budi yang
mendapat seorang permasuiri secantik Mona ? Selain cantik, Mona adalah anak
seorang konglomerat direktur perusahaan. Sedangkan Budi, hanya anak dari seorang warga kelas menengah.
Seumur hidup Budi, dia tidak pernah membayangkan ingin
berpacaran. Mendekati wanitapun dia sangat grogi. Saat diminta Mona menjadi
pacarnya, keringatnya pun bercucuran tak karuan. Sebelum menjadi pacarnya Budi
hanya sebatas tahu bahwa Mona adalah primadona di kelas 3 jurusan IPA. Dia
tidak benar - benar paham apa yang dipikirkan Mona saat memintanya menjadi
pacarnya. Tapi disaat - saat tertentu di sekolah, Budi merasa bahwa dia selalu
diperhatikan oleh Mona secara diam - diam. Meski begitu, Budi tak benar - benar
yakin ada perasaan di hati Mona dan dia mengacuhkannya. Ketika Mona memintanya
menjadi pacar , dia baru sadar, perasaan yang diacuhkannya ternyata salah,
ternyata Mona benar - benar menaruh hati padanya.
Bagaimanapun juga Budi tetap harus menerimanya. Mona adalah
wanita yang cantik, kaya, dan primadona di sekolahnya. Dia juga merasa, sudah
waktunya dia harus mempunyai pengalaman berpacaran.
Sejak saat itu mereka berdua sering bersama. Budi sering
menemani Mona makan siang di kantin
sekolahan. Setiap malam minggu dia selalu mengajak Mona nonton. Budi juga
sering meminta bantuan Mona untuk mengajarinya pelajaran Fisika dan Matematika,
karena dia bukan anak yang cerdas, jadi mereka kerap menghabiskan waktu
bersama.
Ketika Mona sakit, Budi tak henti menjenguk di rumahnya.
Rumah Mona sangat besar, tapi Budi tak pernah sekalipun bertemu dengan orang
tua Mona yang selalu sibuk ke - luar kota. Ketika Mona sedang sedih karena
jarang bertemu orang tuanya, Budi selalu menghiburnya. Ketika Mona mengutarakan
cita - citanya, Budi selalu mensupportnya agar tetap semangat meraihnya. Ketika
Mona ingin ke suatu tempat, ingin membeli sesuatu, ingin melihat sesuatu, ingin
mendengar sesuatu, Budi selalu menawarkannya untuk mengantarkannya kemana Mona
ingin pergi, meski sebenarnya Budi hanya menemani Mona saja di dalam mobil,
karena Budi tak punya mobil, dia hanya mengandalkan angkutan umum, sedangkan
Mona yang menyetir dengan mobilnya. Budi merasa ingin selalu ada di manapun Mona
berada kalau dia bisa, Budi selalu ingin ada kapanpun kepada orang yang
mencintainya, kalaupun dia tidak bisa, Mona selalu bisa mengerti alasannya dan
tak pernah marah.
Tapi memang ada suatu perasaan janggal yang Budi rasakan
selama jalan dengan Mona. Di saat bersama, terkadang Budi melihat Mona selalu
termenung memikirkan sesuatu sampai dia tak sadar bahwa Budi sudah memanggilnya
berulang kali. Sering kali saat bersama, Mona meneteskan air mata. Ketika Budi
bertanya ada masalah apa, Mona selalu mengelak dan meminta agar Budi tak ikut
campur. Budi juga tak terlalu memaksa untuk ingin tahu agar bisa menjaga
perasaan kekasihnya. Mona juga tidak pernah mengajak Budi ke suatu tempat untuk
nge-date. Mona hanya mengutarakan keinginaannya saja, sedang Budi yang selalu
menawarkan diri untuk menemani Mona.
Ketika mendapat pesan bahwa Mona mengajak Budi bertemu untuk
makan malam di warung khusus remaja, betapa bahagianya perasaan Budi. Ini pertama kalinya dalam kurun waktu 3 bulan
Mona mengajaknnya keluar. Saat itu, Budi dan Mona sudah lulus dari bangku SMA.
Budi hanya tinggal mencari kerja karena orang tuanya tak mampu untuk
membiayainya meneruskan pendidikannya ke tingkat Universitas, sedangkan
Mona sedang bingung mencari kampus yang
cocok untuk merealisasikan cita - citanya. Budi mempunyai harapan jika saat
bertemu nanti Mona mau membicarakan tempat kampusnya nanti agar tak terlalu
jauh, karena toh kalau jauh, Budi bisa galau karena lama tak jumpa disebabkan
faktor lokasi.
Saat itu pukul enam lebih lima belas menit. Malam sudah menutupi
langit. Warna hitam pekatnya seakan seperti tinta yang lumer di dalam air
putih. Meskipun masih ada sisa - sisa cahaya matahari terbenam, toh tak lama
warna itu akan hilang disantap oleh kelamnya malam. Bulan Mulai menampakkan
diri, meskipun sebatas malu - malu dengan setengah badannya masih tersembunyi
di balik awan.
Budi, memasuki pelataran parkir warung makan khusus remaja
di kotanya. Setelah memarkirkan sepeda motornya, dia langsung bergegas memasuki
warung tersebut. Pertama masuk dia agak kebingungan mencari Mona karena
banyaknya orang yang sedang makan disitu. Budi celingak - celinguk seperti
monyet yang kehilangan induknya. Tapi tak butuh waktu lama, pandangannya
menemukakan tempat dimana Mona memesan tempat duduk, yakni di bagian pojok
ruangan. Ada perasaan yang tidak enak di
hati Budi saat melihat Mona dari kejauhan yang ketika itu duduk sambil menundukkan
pandangannya ke bawah. Budi merasakan Mona sedang mengalami sesuatu yang
membuatnya sedih.
"Wow, tenderloin kesukaanku sudah kamu pesankan ya Mona,
" kata Budi secara tiba - tiba saat mendadak muncul di hadapan Mona yang
membuatnya sedikit tersentak kaget.
"Kau mengagetkanku saja Budi.'' Tukas Mona. Duduklah
dan segera dimakan tuh tenderloinya, nanti keburu dingin. Lagian kuk lama
sekali? Aku malah sudah menghabiskan Iga
bakarku."
"Maap Mona," jawab Budi sambil menarik kursi dan
kemudian duduk." Sejak kapan di kota kita tidak pernah macet kalau di
malam minggu. Lihat saja betapa sumpeknya warung steak ini jika malam minggu
tiba. Warung ini aja sumpek, gak bisa bayangin deh kondisi jalanan di luar
sana." Eh iya, btw kamu kuk bisa datang lebih cepat dari aku Mona? Bukannya
jarak rumah kamu lebih jauh dari warung ini? Tanya Budi sambil melahap potongan
daging tenderloin miliknya.
"Apa sih yang gak bisa aku lakuin tepat waktu,"
Jawab Mona. "Aku sudah tau bakal macet, jadi aku berangkat 45 menit lebih
awal dari janji kita." Namun Budi tidak menggubris omongan Mona, dia malah
kelihatan asyik menyantap makanannya. " Huh dasar kamu Budi, kalau sudah
soal makanan lupa dengan segalanya,"Tukas Mona kesal. Tapi setelah itu,
Mona memandangi Budi dengan tersenyum. Mona memandangi Budi yang asyik menyantap
makannannya dengan seulas senyum kebahagiaan. Dia begitu menikmati raut wajah
Budi yang begitu lapar. Dia menikmati pipi Budi yang belepotan menjadi sesuatu
yang lucu dibenakknya. Hingga tanpa sadar air mata menetes di pipinya.
"Eh, kenapa kamu Mona?" Tanya Budi ketika sadar
kekasihnya meneteskan air matanya.
"Ah, tidak apa - apa ," jawab Mona pelan saat
tersentak mendengar pertanyaan Budi dan sadar bahwa dia meneteskan air mata.
Dia mengeluarkan tisu dari tas mungilnya dan mengusapkannya ke wajah.
"Apa kamu mau menceritakan kepadaku sekarang apa
sebenarnya penyebab dirimu selalu meneteskan air mata mendadak jika kita sedang
berdua Mona?"
"Habiskan dulu makanmu Budi, setelah itu aku ingin
membicarakan sesuatu kepadamu," Jawab Mona dengan seulas senyum.
"Aku sudah selesai makannya kuk Mona, " kata Budi
sambil merapikan perlengkapan makan di meja, meski masih tersisa beberapa
potongan daging, tapi toh Budi tak mau melanjutkan menghabiskan makanannya
karena perasaannya sudah tak tenang melihat kekasihnya menangis dan membuat
rasa makanan itu otomatis juga tak sedap seperti sedia kala.
"Budi maukah kamu memaafkan aku? Tanya Mona dengan
memasang wajah bersalah. Seperti halnya seorang anak yang ketangkap basah
mencuri mangga tetangganya.
"Apa maksudmu berbicara seperti itu Mona? Aku tak
paham. Kamu tidak salah apa - apa kuk selama ini?"
"Tidak, tidak begitu Budi. Aku ini egois. Aku ini tidak
jujur. " Kata Mona. Matanya kini mulai memerah karena air matanya sudah
ingin berlomba - lomba menggenangi kelopak matanya.
"Ceritakan padaku apa masalahnya," Kata Budi
sambil mendekatkan letak kurisnya ke dekat Mona serta menarik dan memegang
tangan Mona.
"Bisakah kita berbicara diluar saja. Lebih baik kau
tunggu aku di dalam mobilku. Aku akan
membayar semuanya dulu," anjuran Mona kepada Budi sambil menyerahkan kunci
mobilnya. Kemudian Mona langsung bergegas menuju kasir untuk melakukan
pembayaran.
Di luar, terutama di pelataran parkir. Suasana sangat sepi.
Sangat jauh berbeda dengan suasana yang ada di dalam warung. Budi, duduk
sendirian di dalam ruangan mobil. Mona tak kunjung datang karena antrian di
kasir juga sangat panjang. Perasaannya serasa tak enak. Apalgi mendengar
pernyataan bahwa Mona telah tidak jujur selama ini kepadanya. Emosi bergejolak
di hati Budi. Tapi semarah apapun Budi, dia tidak akan pernah bisa memarahi
Mona. Apalagi belum jelas alasannya kenapa Mona membonginya. Dan juga
membohongi soal apa? Kepala Budi seakan ingin pecah memikirkan pertanyaan itu.
Pintu mobil terbuka, dan Mona langsung
masuk ke dalam dan menutup kembali pintunya. Mereka berdua bertatap - tatapan
sejenak, pandangan mereka seperti saling menatap orang asing.
"Ceritakannlah apa yang selalu membebanimu selama ini
Mona, " Kata Budi. Aku akan mendengarkan semuanya."
"Aku sebenarnya benci ingin mengatakan ini Budi. Setiap
hari pikiranku selalu tertuju pada kebencian saat tiba dimana aku bisa
mempunyai waktu untuk mengatakan ini Budi. " Kata Mona. Baiklah, aku ingin
mengatakan maapkan aku Budi, hubungan kita sampai disini saja. Mulai saat ini
kita menjadi teman bisa."
Kalimat itu benar - benar mengguncangkan jiwa Budi.
Perasaannya bagaikan tersambar petir. Budi bangkit dari tempat duduknya dan
mendekatkan dirinya kepada Mona dan menggenggam tangannya.
"Kenapa kau mencampakkan aku Mona. Berikan alasan yang
tepat agar aku bisa menerimanya. Dan apakah dengan alasan itu sudah tidak ada
lagi jalan keluar untuk mempertahankan hubungan kita?"
Air mata menetes di wajah Mona. Seperti air terjun yang
guyuran airnya seakan tak pernah berhenti membanjiri wajah Mona. Mona terus menatap Budi dengan wajah haru.
kesedihan benar - bernar terpancar di wajah Mona.
"Maapkan aku karena aku sudah tidak jujur. Akan
kukatakan yang sebenarnya Budi,"kata Mona dengan tersedak - sedak akibat
menahan tangis. Mona, mengatur nafasnya sesaat dan mengusap air matanya sebelum
kembali melanjutkan ceritanya.
"Sebenarnya aku sudah dijodohkan dengan anak teman
bisnis Ayahku sejak 3 bulan yang lalu. Perjodohanku ini diharapkan bisa
merangkul perusahaan teman ayahku itu untuk memperluas jaringan bisnisnya. Oleh
sebab itu, aku memutuskan hubungan ini Budi. Karena besok, aku
diharuskan keluar kota menemani calon suamiku itu"
Budi yang saat itu menggenggam salah satu tangan Mona sontak
melepaskannya. Dia benar - benar tak percaya dengan pernyataan Mona. Mona
menyembunyikan sesuatu kenyataan yang mengerikan bagi Budi.
"Lalu kalau kau sudah dijodohkan, mengapa kamu
menyatakan cintamu kepadaku 3 bulan kemarin? Bukankah kita semestinya tidak
usah berpacaran jikalau kamu sudah mengetahui bahwa akhirnya bakal seperti
ini?" Tanya Budi dengan sedikit emosi dan wajah yang mulai memerah. Tapi
sebenarnya Budi menahan lonjakan emosinya. Dia, takkan pernah sanggup
melampiaskan emosinya kepada Mona.
"Bukannkah sudah kukatakatan bahwa aku egois. Aku
memang mencintaimu, menyayangimu. Aku menaruh rasa suka padamu jauh sebelum aku
menembakkmu. Tapi setelah perjodohan itu, aku yakin tak akan bisa memilikimu.
Jadi aku menjadikanmu kekasihku agar 3 bulan terakhir ini arku bisa menghabiskan
waktu bersamamu. Merasakan perhatianmu yang tak akan pernah bisa kudapatkan
dari calon suamiku nanti. Merasakan cintamu yang tak akan pernah aku dapatkan
dari calon suami yang aku belum 100% mengenalnya. Mona, menjelaskan semuanya
dengan menangis tersedu - sedu.
"Jadi kamu mempermainkanku Mona?" Tanya
Budi." Mona hanya bisa menangis, dan tak menjawab. Sedangkan Budi sepertinya sudah tahu jawabannya.
Suasana hening saat tangisan Mona sudah mereda. Budi duduk
merebahkan badannya di kursi mobil dengan pandaagan menerawang ke arah luar
kaca jendela. Memandangi bintang - bintang gemerlip di langit. Sedangkan Mona,
lega karena sudah mengutarakan beban yang selama ini dia tanggung kepada Budi.
Dia memandangi Budi, menunggu apa reaksinya, karena sudah lama mereka berdiam
diri.
He..he..he..he..he ..." Mendadak Budi tertawa. Mona
jadi heran melihat tingkah budi. Lalu Budi berkata, " Bodohnya diriku
berharap jauh bisa selalu bersama dengan dirimu Mona. Memang aku aku sudah memumpuk
banyak harapan akan hubungan kita. Tapi rasanya malam ini gunung harapan yang
sudah kubangun itu runtuh. Aku memaafkanmu Mona, dan aku akan mencoba
melupakanmu."
Mendadak Mona bangkit dari kursinya, dia merebahkan tubuhnya
ke arah Budi. Kedua tangannya memegang erat kepala Budi, mendekatkannya pada
wajahnya dan segera dia mencium bibir Budi. Budi juga tak ingin kalah, dia juga
mendekap erat tubuh Mona. Ciuman itu rasanya tak ingin hanya sesaat. Ciuman itu
ingin selamanya mereka berdua miliki. Mereka merasakan kasing sayang, cinta
dalam ciuman yang singkat itu. Tapi mereka harus berat hati karena mereka sadar
ciuman itu adalah ciuman perpisahan.
Mona melepaskan bibirnya dari bibir Budi. Pandangannya
menatap tajam kepada Budi. Mereka berdua, melepaskan pandangan tak rela untuk
saling berpisah.
"Maapkan aku Budi. Aku berharap kamu menemukan wanita
yang tak hanya dirinya yang bisa kamu miliki, melainkan juga cintanya."
Itulah perkataan terakhir Mona sebelum mereka berpisah.
Kejadian dua minggu yang lalu itu masih terus terngiang di
benak Budi hingga saat ini. Di dalam kamarnya, Budi terbaring dengan menatapi
foto wajah Mona dalam ponselnya. Suara hujan yang berisik dan guntur yang
seakan berlalu - lalang perlahan - lahan mulai surut terdengar dan mereda dari
luar kamar Budi. Kemudian Budi memencet tombol delete dan menghapus foto Mona.
Dia akhirnya bisa mencoba untuk melupakannya setelah 2 minggu terakhir ini
selalu terbayang kejadian waktu itu dan perkataan pencampakan Mona terhadap
dirinya.
Budi bangkit dari tempat tidurnya. Dia membuka kain gorden
pada jendela kamarnya. Cahaya terang matahari masuk melalui kaca jendela dan
menyinari seluruh ruangan kamar Budi. Kegelapan akibat mendung dan hujan sudah
mereda. Budi mendapatkan pelajaran akan cinta pertamanya dan juga saat pertama
kali dia berpacaran dalam hidupnya. Bahwa sesungguhnya cinta itu terkadang tak
bisa memiliki. Karena jodoh dan takdir memang sudah ditentukan di atas sana.
Namun Budi tetap berharap suatu hari dia menemukan pasangan yang benar - benar
dia miliki tak hanya dirinya, melainkan cintanya sesuai dengan harapan Mona di saat
detik - detik akhir perpisahan mereka. Budi kini bangkit kembali dari
kesedihannya yang telah mengurungnya selama dua minggu. Dia ingin memulai
harapan baru. Karena harapan itu tak akan pernah berakhir, seperti halnya sinar
matahari yang akan selalu menerangi jikalau mendung sudah berakhir. Sinar
matahari juga tak akan pernah pudar layaknya harapan baru seseorang.
Yach sebenarnya aku nggak begitu suka sih bikin cerita melow kayak gini. Tapi ya gak masalah, mudah - mudahan para pembaca menikmatinya. Kalaupun ingin memposting cerpen ini di blog kalian silahkan, tapi jangan lupa kasih sumbernya ya, biar hargai penulisnya dikit. Terima kasih :)
4 comments:
Cerpennya bagus, sob. Saya tertarik dg alur ceritanya, yg menggunakan alur mundur. Alur ini membuat kita tdk akan bosan membacanya...
Terima Kasih pak guru dah menyempatkan waktu buat membaca cerpen saya :)
bagus juga, saya belum pernah membuat cerpen sebelummnya.. kapan2 mau bikin juga.. hhe
Silahkan mencoba membuat cerpen Bang Admin Klik Banjar, membuat cerpen tu kegiatan yang mengasyikkan kuk :) Makasih dah nmampir
Post a Comment