Meski sudah
pukul 05.20 pagi, nyatanya kabut tebal masih menyelimuti Kota Pemalang.
Matahari hari ini seakan bermalas-malasan untuk membagi secerca sinarnya.
Alhasil, pagi ini jarak pandang sangat terbatas. Hujan deras kemarin sore
hingga tengah malam menjelang subuh, ditenggarai yang menjadi biang keladi
munculnya kabut tebal pagi hari ini.
Rudi, hampir
saja melanggar lampu - lalu lintas yang menyala merah. Dia, me-rem mendadak
laju motor sport-nya karena kaget secara tiba - tiba mendapati lampu lalu - lintas
yang menyala merah di depannya dalam laju kencang perjalanannya.
Kabut yang
tebal, menghalangi pandangannya akan keberadaan tiang lampu lalu lintas yang
seakan mendadak muncul bagaikan penampakan. Dia berhenti tepat di tengah jalur
penyeberangan zebra-cross. Pemberhentiannya memang menyalahi aturan, terutama
ada seorang polisi lalu - lintas yang sedang berdiri tepat di pertigaan jalan
didepannya. Meski begitu, polisi itu hanya memandangi sejenak tindakan ceroboh
yang dilakukan Rudi tanpa menegurnya. Mungkin saja polisi itu memahami situasi
yang membuat dirinya me-rem mendadak sepeda motor yang ditumpanginya. Meski
begitu, tetap saja kecerobohan yang dilakukannya sangatlah berbahaya.
Bagaimana jika ada yang menyebrang saat
itu juga tanpa sepengetahuan dirinya? Tentu saja peristiwa yang tak diharapkan
akan terjadi, namun beruntung, kali ini tidak ada yang menyebrang, hanya
beberapa kendaraan dari arah yang berlawanan melewati dirinya yang berhenti
mematung.
Ketika lampu berganti menjadi hijau, Rudi melanjutkan perjalanannya.
Saat berpapasan dengan seorang polisi yang bertugas tadi, dia menganggukkan
helmnya memberi sapaan seolah mereka sudah saling kenal.
Jam menunjukkan
pukul 05.50 pagi ketika Rudi melihat pada alroji di pergelangan tangan kirinya.
Setelah itu, dia kembali menyibakkan lengan jaket yang akhirnya kembali
menutupi keberadaan alroji digital di pergelangan tangannya.
Dia mengeluarkan
sebuah tas plastik yang membungkus handuk, selimut serta pakaian hangat dari
mini bagasi di motor sportnya. Setelah itu, dia berjalan dari pelataran parkir
menuju ke sebuah pintu gerbang yang berukuran besar dengan diatasnya
bertuliskan papan nama yang masih diterangi lampu yang menyala bertuliskan Panti
Jompo Sejahtera Yayasan Amanah Bakti. Di depan pintu gerbang, dalam samar -
samar tebalnya kabut, sudah berdiri seorang paruh baya yang seakan sudah
mengetahui akan kedatangan Rudi.
Ketika mereka
berdua berhadapan, Rudi melayangkan senyuman kecil kepada orang tersebut sambil
berkata, " Seperti biasanya, Anda selalu terlihat bugar Pak Hasan."
"Penampilan
bisa menipu nak. Namun sebenarnya reumatikku sedang kumat. Menunggumu di pagi
hari yang dingin dan berkabut seperti ini membuat punggungku seakan mati
rasa," jawabnya sambil mengelus - elus pinggang bagian kiri. Rudi hanya
tertawa pelan menanggapi itu, setelahnya, dirinya menengok ke arah taman yang
berada di belakang pintu gerbang. Rudi melihat, sesosok nenek tua yang sedang
duduk di kursi roda sedang merapikan tanaman hias didepannya.
"Dia
kelihatan sehat," kata Rudi
menanggapi apa yang sedang dilhatnya sekarang.
"Dia selalu
sehat dan terus bertambah bahagia disini, " tambah Pak Hasan
.
"ini, aku
membawakannya handuk, selimut serta sweeater super tebal mengingat musim
penghujan yang hampir mendekati intensitas puncaknya akhir - akhir ini. Kuharap
dia selalu merasakan kehangatan ketika memakainya,"kata Rudi sambil
menyodorkan plastik yang dibawanya kepada Pak Hasan.
"Dan ini,
" Kata Rudi sambil mengeluarkan dua buah amplop yang ditujukan kembali
kepada Pak Hasan. "Ini biaya perawatannya bulan ini dan bagian Anda"
"Terima
Kasih, ucap Pak Hasan. Kemudian Rudi mengucapkan salam dan berpaling menuju ke
pelataran parkir. Namun sebelum dirinya sampai di area parkir, Pak Hasan
berlari menghampirinya. Derap langkah kaki Pak Hasan mengundang perhatian Rudi
sehingga dirinya berhenti dan memalingkan badan, mendapati Pak Hasan seakan
berlari dikejar hantu menuju dirinya.
Dengan sedikit
ngos- ngosan, ketika sudah berdiri di depan Rudi, Pak Hasan berkata, "Maap
jika saya lancang mengajukan pertanyaan ini nak Rudi. Kuakui 5 tahun yang lalu
Anda memasukkan nenek Rosidah tanpa riwayat yang pasti dengan hanya menyatakan
Anda sebagai anak satu - satunya dan memasrahkan saya untuk merawat dan
mengatur segalanya selama ini tanpa sekalipun Anda menemuinya ataupun berbicara
kepadanya dalam kurun waktu 5 tahun setelahnya. Sepanjang berjalannya waktu 5
tahun ini, kedekatan saya dengan nenek Rosidah memberitahukan fakta bahwa
dirinya hanya mempunyai seorang anak lelaki yang menghilang 25 tahun yang lalu.
Dan pertanyaannya adalah, siapa sebenarnya Anda yang berbuat begitu banyak demi
keberlangsungan hidup nenek Rosidah selama ini?"
"Apakah ada
orang lain di pihak Panti Jompo yang mengetahui masalah ini?" Tanya Rudi
dengan mencengkram kedua sisi bahu pak Hasan dengan ekspresi raut muka yang
terkejut.
"Tidak,
tidak ada nak Rudi. Hanya aku saja seorang yang mengetahuinya. Nenek Rosidah
hanya berbagi denganku saja selama ini karena hanya akulah yang paling dekat
dengannya diantara perawat - perwat yang lain, " jawab Pak Hasan dan
setelah itu Rudi melepaskan cengkraman kedua tangannya di bahu Pak Hasan dan
raut mukanya tertunduk lemas.
Rudi dengan
wajah tertunduk berpaling dari Pak Hasan dan berjalan pelan melanjutkan
perjalanannya yang sempat tertunda menuju ke area parkir. Pak Hasan bingung
dengan tingkah Rudi, dia tidak mendapatkan jawaban namun malah mendapati tingkah laku
aneh yang diperlihatkan oleh Rudi. Tak lama kemudian Rudi menoleh ke arah Pak
Hasan dan berkata;
"Demi
kebaikan Nenek Rosidah, aku harap ini tetap menjadi tanda tanya bagi Anda Pak
Hasan. Aku malah resah jika menceritakannya. Takut dari apa yang keluar dari
mulutku nanti akhirnya akan menimbulkan sebuah problematika. Aku harap bapak
mengerti."
@@@
Sebuah asap
rokok untuk kesekian kalinya menyebul dengan ringannya dari mulut Rudi. Sambil
bersandar pada dinding dipelataran parkir, dihisapan terakhirnya, dia menengok
ke arah langit. Dilihatnya sinar matahari sudah mulai menembus kabut tebal dan
cuaca sudah cerah. Dengan segera dia membuang putung rokok itu ke lantai,
menginjaknya supaya sumber api padam, menemani dua putung rokok lainnya yang
berceceran tak jauh dari kakinya yang sudah dia habiskan sebelumnya untuk
membunuh waktu sembari menunggu kabut tebal menghilang. Dia mengatupkan
resleting jaketnya, memakai helm-nya, menstarter motornya, dan melaju cepat
meninggalkan panti jompo tersebut.
Angin sepoi
bertiup kencang. Hembusannya membawa serta beberapa helai dedaunan meliuk -
liuk di udara seakan mengajak mereka untuk menari. Dedaunan itu bertebaran
kesana kemari yang akhirnya beberapa dari mereka jatuh mengenai tubuh Rudi yang
sekarang sedang duduk dengan posisi menyamping di atas motor yang dia sandarkan
di bawah sebuah pohon yang rindang. Sesekali nampak dirinya membersihkan
dedaunan yang berjatuhan dan hinggap di jaketnya.
Kurang lebih
sudah 10 menit dirinya menghabiskan waktu duduk santai di atas motornya,
memandangi sebuah bangunan berlantai 4 yang berdiri megah yang berjarak 50
meter di depannya dan hanya dipisahkan oleh sebuah jalanan kecil dengan 2 ruas
untuk laju dua arah. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang di depannya,
jadi dia bisa menikmati pemandangan bangunan megah itu dengan leluasa tanpa
gangguan yang berarti.
Rudi yakin
betul, 25 tahun yang lalu apa yang ada didepannya adalah sebuah lahan luas yang
ditumbuhi semak belukar. Suatu area yang sangat sepi dan dirinya hampir tak
percaya bahwa saat ini area itu malah dibangun sebuah jalur yang oleh
pemerintah daerahnya yang mana jalur itu menghubungkan
ke jalan raya utama. Bahkan, akibat dibangunnya jalur itu, dampaknya pemukiman penduduk dan berbagai bangunan umum sudah padat merayap menghinggapi daerah
ini layaknya migrasi mendadak sekelompok hewan. Salah satunya adalah sebuah bangunan yang dipandanginya sedari tadi.
Ketika umurnya
menginjak 15 tahun dan masih berada di kelas 1 SMA. Sepulang dari tawuran antar
sekolah yang tidak dimenangkan oleh kelompoknya. Di tengah perjalanan bersama 3 temannya, Hemil, Prass, Sasongko dalam
kondisi babak belur, dia berpapasan dengan salah satu siswa yang mengenakan seragam asal SMA
yang menjadi lawan tawurannya hari ini. Ketika berpapasan, dirinya dan temannya
tidak memedulikannya karena mereka hanya menghajar yang dianggap musuh, apabila
bukan, meski berasal dari SMA yang menjadi lawan tawurannya hari ini, dia tidak
akan menghajarnya.
Namun kejadian
aneh mengejutkannya hari itu. Tiba - tiba saja siswa yang berpapasan dengan
dirinya itu, melompat - lompat. Berteriak - teriak ke arah mereka dengan wajah
kegirangan. Menunjuk - nunjuk mereka berempat dengan teriakan - teriakan dan
tawa yang membahana. Teriakan itu penuh semangat, sangat keras dan bagi mereka
berempat suara itu sangat mengganggu. Kemudian siswa tadi berjalan mendekat ke
arah mereka berempat. Menjulurkan tangannya untuk berjabatan dengan wajah
meringis terkesan mengejek.
Hal itu disikapi
Rudi dan 3 temannya dengan emosi yang luar biasa meledak - ledak. Di umur yang
masih bisa dikatakan bau kencur seperti mereka, apa yang dilakukan siswa tadi
seakan mengejek kekalahan sekolah mereka saat tawuran melawan sekolahnya. Dan
jabat tangan yang diulurkan siswa aneh tersebut, diartikan mereka berempat sebagai
ucapan kekalahan. Hal itu sontak memacu emosi mereka berempat yang sedang
diubun - ubun. Mereka berempat langsung menghajar siswa tersebut dengan membabi
- buta, ketika mereka pada akhirnya sadar bahwa mereka telah membunuhnya dan
kemudian menguburkannya secara diam -diam pada lahan kosong yang selang 25
tahun kemudian telah didirikan di atasnya sebuah bangunan megah yang saat ini
sedang Rudi pandangi sambil mengingat tragedi kelam yang pernah dia lakukan
dalam hidupnya.
Semenjak
kejadian itu, kehidupan Rudi bersama 3 temannya dihinggapi rasa bersalah yang
luar biasa. Mereka menjadi pendiam, dan mendadak berubah menjadi murid yang
baik tanpa pernah lagi berbuat onar di sekolahnya hingga mereka lulus dengan
prestasi bagus dan 2 dari mereka mendapat pendidikan beasiswa di kampus dan
akhirnya mendapat pekerjaan yang mapan.
Di umur 35
tahun, hanya Rudi dan Hemil yang bekerja di tempat asalnya. Sedangkan Prass dan
Sasongko bekerja di luar kota. Suatu hari, Rudi mendapatkan kabar yang
mengejutkan dari Hemil. Ketika Hemil memeriksa seorang nenek yang mengalami
stroke dan dibawa warga yang menemukannya dari gubuk reyotnya ke puskesmas
dimana dirinya bekerja - selama dalam perawatan si nenek bercerita kisah
pilunya kepada Hemil selaku dokter yang mengurusnya bahwa dirinya hanya hidup
sebatang kara. Dia ditinggal suaminya semasa mudanya ketika mempunyai seorang
anak yang mengalami cacat mental. Suaminya tak tahan melihat kondisi sang anak
sehingga itulah alasan tak masuk akal untuk pergi. Semenjak itu si nenek
bekerja menjadi petani dan si anak turut membantu seadanya. Ketika lahan
pertanian semakin berkurang karena pembangunan, maka dia berhenti menjadi
petani dan menjual rumahnya dan hanya hidup di gubuk kecil sisa peninggalan
orang tuanya. Anaknya tak dapat bersekolah sedari SD karena cacat mental dan tak
ada biaya. Anaknya menghilang ketika berumur 16 tahun. Si nenek selalu membawa
foto sang anak di sakunya. Ketika si Hemil meminta izin untuk melihat foto sang
anak, urat nadinya seakan tertekan dan aliran darahnya seperti berhenti.
Hemil
menceritakan lewat telepon kepada Rudi bahwa pasien yang dia rawat sekarang
adalah Ibu dari seorang siswa yang mereka bunuh berempat semasa SMA dan
menguburkannya secara tidak wajar. Hemil menceritakan dari keterangan si nenek
bahwa anaknya menghilang ketika dia baru saja meminjam seragam SMA dari
tetangganya yang baru saja lulus dari SMA. Saking senangnya si anak memakai
baju seragam dan keluar rumah kegirangan entah kemana. Sejak saat itulah dia
tak pernah kembali.
Setelah menerima
kabar itu, di suatu tempat Rudi dan ketiga temannya berkumpul untuk membahas
nasib si nenek. Mereka sepakat untuk merawat si nenek itu. Hemil punya banyak
koneksi di panti jompo dan memerintahkan salah satu kenalan dekatnya Pak Hasan
untuk merawatnya, dan Rudi diserahi tugas untuk mengaku menjadi anak sang nenek
dengan tujuan memuluskan disaat proses registrasi memasukkan si nenek ke panti
jompo meski tanpa sepengetahuan sang nenek dan juga untuk dapat memudahkan
dalam proses administrasinya kepada Pak Hasan yang selaku perawat kenalan Hemil
yang diberi kepercayaan untuk fokus memberikan perhatian kepada si nenek. Rudi
yang diserahi tanggung jawab itu karena dia yang akhirnya akan bekerja di
tempat asalnya seorang diri karena Hemil saat itu akan menjalani promosi
menjadi dokter di rumah sakit di luar kota menyusul Prass dan Sasongko yang
sudah lebih dulu berada di luar kota.
Jam arloji Rudi
menunjukkan pukul 07.50 pagi. Kemudian dia turun dari motornya, berdiri dari posisi
duduk. Mencopot jaket kulitnya yang tebal, memasukkan ke mini bagasinya
sehingga seragam coklat mudanya kelihatan. Dalam bagasi dia mengambil lencana
polisi dan menempelkannya di seragamnya. Dia tak lupa merapikan ikat pinggannya
yang agak kendur karena lama duduk dalam posisi membungkuk. Kemudian dia
memakai helmnya dan ingin segera tiba di kantornya. Dia selalu tepat waktu jika
menghadiri apel pagi, hanya sekali dalam sebulan dia biasanya sengaja tak hadir
demi singgah di tempat ini. Sebelum meninggalkan pohon rindang yang kerap dia
singgahi selama sebulan sekali itu, dia sekali lagi memandangi bangunan megah
yang berdiri di depannya.
Aku tak pernah tahu bahwa harapan seseorang bisa
terwujud ketika sudah meninggal. Sesuatu yang besar telah kau tumbuhkan dari
dalam liang kuburmu yang tak wajar. Kini, orang - orang sepertimu tak akan pernah lagi kehilangan
harapan mereka.
Rudi menggeber
motornya dengan kencang, melewati sebuah papan besar yang berdiri kokoh dengan
pondasi besinya di depan bangunan megah tersebut. SEKOLAH DASAR DAN MENENGAH
PERTAMA PUTRA HARAPAN JAYA, adalah tulisan yang tersusun rapi dan artistik pada
papan besar tersebut. Sekolah yang dibangun hasil gabungan dari lembaga
pendidikan dan beberapa yayasan bagi para siswa yang kurang mampu dan mengalami
keterbelakangan.
No comments:
Post a Comment