Setelah berjalan kurang
lebih 20KM, Ridwan bingung apa yang sebenarnya telah terjadi di dunia ini.
Segalanya telah berubah, apapun yang dilihatnya sepanjang perjalanan, dia
merasa berada di dunia lain. 40 tahun
mendekam di penjara, membuatnya benar - benar terisolasi dengan dunia luar.
23 September, adalah
hari kelahirannya dan juga saat ini bersamaan dengan hari kebebasannya dari
penjara. Entah mengapa dia teringat saat berumur 8 tahun keluarganya merayakan ulang tahunnya dengan begitu
meriah. Namun sekarang, dia hanya merasa kesepian di tengah dunia yang hampir
tak dikenalnya.
1980, saat umurnya 20
tahun, Ridwan merantau ke Ibukota untuk mencari penghasilan apapun itu demi
mengobati Ibunya yang sakit di desanya yang terletak sangat terpencil. Dia
tidak tahu bagaimana itu Ibukota, yang ada dalam gambarannya Ibukota adalah
kota metropolitan yang menyediakan segudang pekerjaan.Meski dia tidak dapat
membaca dengan lancar dan berbahasa Indonesia dengan benar, apapun itu tekadnya
ke Ibukota sudah bulat.
Setelah 3 hari berada di Ibukota dan lelah
mencari pekerjaan yang tak kunjung dia temui, suatu sore yang diselimuti awan
mendung dan hujan lebat, dia berteduh di suatu lorong yang kecil dan pengap
diapit diantara dua bangunan yang sedang direnovasi. Keadaan sangat sepi saat
itu, hingga mendadak muncullah sebuah mobil jeep yang mengerem mendadak dan
melemparkan sebuah anak kecil keluar dan langsung meninggalkannya. Melihat
sesuatu yang tidak lazim, Ridwan mendatangi anak tersebut dan menggendongnya
dari genangan air yang dipenuhi lumpur. Anak teresebut adalah seorang
perempuan, dan Ridwan melihat sebuah kebiadapan yang telah dilakukan seseorang
terhadap anak perempuan itu.
Seketika itu juga
Ridwan membawa anak tersebut masuk ke dalam gedung yang sedang direnovasi untuk
berteduh. Kondisi anak tersebut sangat mengenaskan, kedua bola matanya hilang,
dia menangis, tapi menangis darah. Ada sebuah jahitan pada punggung kirinya.
Paha dan tungkainya berlumuran darah yang mengalir dari alat kelaminnya. Ridwan
mencoba menenangkannya dengan membelai rambut anak tersebut. Tapi upayanya
tidak membuahkan hasil, anak tersebut semakin menjerit merasakan penderitaan
yang dialamainya. Jeritan keras anak tersebut mendatangkan seorang satpam
bangunan yang sedang berjaga. Melihat Ridwan dan anak tersebut, sang satpam
memanggil polisi dan Ridwan akhirnya dibawa ke kantor polisi untuk dimintai
keterangan.
Karena takut, gugup dan
berbahasa Indonesia tidak lancar, serta tidak adanya saksi lain saat penemuan
anak tersebut, situasi tersebut mendatangkan masalah saat dirinya diinterogasi.
Belum selesai interogasi, Ridwan mendapat kabar bahwa anak tersebut meninggal
saat penanganan di rumah sakit. Sebetulnya anak tersebut bisa menjadi saksi
bahwa Ridwan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang menimpa dirinya jika
anak tersebut sudah sembuh nantinya. Meski tidak bisa melihat, namun anak
tersebut mungkin bisa memberikan keterangan lewat pendengaran identifikasi
suara Ridwan saat menemukannya. Namun kini jalan sudah menjadi buntu, Polisi
menetapkan Ridwan sebagai kurir organisasi penculikan anak yang tugasnya
membuang anak yang menjadi korban penculikan setelah anak tersebut
dieksplotasi. Karena pada tahun itu marak penculikan anak dan pengambilan organ
tubuh, yang setelah itu sang anak biasanya dibuang di tempat yatim maupun panti
- panti asuhan oleh kurir oraganisasi dengan keadaan sangat mengenaskan.
Ridwan mendapatkan
pasal berlapis, selain menjadi terdakwa terlibat organisasi penculikan anak,
dia juga mendapat jeratan hukum pemerkosaan, karena saat anak perempuan
tersebut divisum setelah meninggal, dalam keterangan menyebutkan bahwa anak
tersebut juga mengalami tindak perkosaan yang tidak lazim. Orang tua korban
mengajukan hukuman seumur hidup kepada Ridwan dan menuntut polisi mengusut organisasi
yang membuat putri mereka tewas sampai ke gembong - gembongnya, namun
pengadilan memutuskan hukuman 50 tahun kepada Ridwan, karena perilaku baiknya
saat berada di dalam penjara, hukumannya dikurangi 10 tahun.
23 September 2020, saat
ini memang cuaca cerah. Ridwan yang kini berusia 60 tahun berjalan dengan
langkah yang agak berat karena faktor usia di trotoar di samping jalan raya. Dia
hanya membawa sebuah tas ransel berisi pakaian. Sejenak dia memandangi aneka mobil yang tanpa
menggunakan roda yang bersliweran di jalan raya seperti semut. Lalu - lalang kereta monorail
yang ada di atas seakan membuatnya takjub. Ridwan memang pernah melihat semua
ini di dalam televisi penjara, namun ketika berhadapan - hadapan langsung, dia
benar - benar takjub dengan perubahan dunia.
Selepas meninggalkan
penjara, tujuannya saat ini adalah menuju Bank Sosial yang ada di pusat kota.
Pemerintah menjamin uang makan untuk setiap mantan narapidana yang keluar dari
penjara diatas umur 50 tahun. Dengan menunjukkan kartu registarsi yang
dimilikinya, dia akan mendapatkan jaminan uang makan di sisa hidupnya. Kendala
yang dihadapinya adalah dia tidak tahu dimana letak Bank Sosial. Disepanjang
perjalanannya dia melihat banyak orang sibuk dengan sesuatu yang mereka
genggam, sebuah lempengan kaca yang mampu menampilkan beragam aktifitas di
dunia. Ridwan kurang begitu mengikuti teknologi, yang dia dengar - dengar alat
tersebut adalah multismartphone yang berteknologi nano dan dintegrasikan dengan
jaringan cloud dunia yang dibenamkan sistem operasi yang muthakir.
Ketika dia mengajak seseorang untuk berbicara,
kebanyakan orang - orang menghindarinya. Ridwan paham kenapa orang - orang
menghindarinya, mungkin penampilannya yadng norak di tahun modern ini dan juga
bisa disebut Ridwan adalah seorang gelandangan karena dia tak mempunyai rumah
maupun kelurga di Ibukota. Meski begitu, ada seorang mahasiswa yang baik hati
mau menolongnya. Ketika Ridwan menanyakan mengenai alamat Bank Sosial, si
mahasiswa itu tidak menjawab, namun mengoperasikan multi-smartphonnya sejenak,
tak lama mahasiswa itu mengeluarkan kotak portabel dari dalam tasnya dan hal
aneh terjadi, kotak itu mengeluarkan sinar, membentuk sebuah pola, dan jadilah
kertas peta yang menunjukkan dimana letak Bank Sosial berada. Saat Ridwan
menerimanya, dia menanyakan kotak apa itu. Melihat kotak itu, dia teringat film
doraemon yang dilihatnya saat dirinya remaja di pasar malam di alun - alun
desa-nya, karena di rumah, dia tidak mempunyai TV. Si mahasiswa itu hanya
menjawab itu adalah print 3D portable, meski dengan ekspresi wajah keheranan.
Berdasarkan peta yang dibawanya, Ridwan menelusuri
setiap jalan yang seperti tertera dalam peta. Ternyata, setelah berfikir
sejenak, perjalanan memang masih jauh. Keringatnya sudah bercucuran, hingga
kini dia lebih sering melakukan kebiasaan mengusap keningnya. Rasa haus dan
lapar melandanya, namun mau bagaimanapun dia harus tetap mengunjungi Bank
Sosial jika dia ingin makan dan minum.
Hingga pada akhirnya
dia menemukan sebuah tempat yang aneh berada didepannya. Di tempat itu, para remaja
berdatangan dengan pakaian yang serba aneh. Yang lelaki memakai anting, tindik,
badan yang penuh tatoo, hampir sama dengan teman - teman preman di sell saat
dia dipenjara, sedang yang wanita berdandan dengan pakaian yang serba minim.
Entah apa yang terjadi dengan dunia, di jamannya, saat didesa, tak ada yang
pernah memakai mode pakaian dan gaya yang baginya menjijikkan seperti itu.
Selain itu, dia juga melihat beberapa anak muda sesama jenis datang
bergandengan dengan mesranya dan memasuki tempat itu. Ketika mendongak ke atas,
sebuah plang digital bertuliskan" Heaven Hall" dengan memuat gambar
tak senonoh mendeskripsikan bahwa tempat itu adalah surga yang bisa dibeli di
dunia ini. Penasaran dengan tempat itu, dia melangkah untuk setidaknya
mengintip dari luar pintu masuk seperti apa didalamnya. Namun ketika sampai di
depan pintu, sebuah mobil mewah berhenti. Sejenak dari dalam pintu utama Heaven
Hall keluar beberapa orang berbadan kekar dan langsung mendorong Ridwan untuk
menyingkir, sehingga membuatnya terjatuh. Salah seorang bertubuh kekar dan
dipenuhi tatoo membukakan pintu mobil itu dan menuntun seseorang yang memakai setelan
jas rapi untuk masuk ke dalam. Sebelum orang berpakaian jas rapi itu memasuki
pintu, ada dua wanita cantik yang tiba - tiba muncul merangkulnya, seolah -
olah mereka berdua adalah selir - selirnya yang cantik.
Ridwan tahu siapa orang
bersetelan jas rapi yang baru saja memasuki tempat itu. Dalam kesehariannya di
dalam penjara, Ridwan sering mendengarkan acara di TV mengenai debat para dewan
pemerintahan yang selalu mengoceh mencari solusi untuk kemakmuran,
kesejahteraan, keadilan rakyatnya. Orang yang dilihatnya barusan adalah
seseorang yang selalu berbicara mengenai keadilan bagi rakyatnya. Anggota dewan
pemerintahan yang mempunyai andil dalam merancang undang - undang hukum. Selama
melihat acara yang bernarasumber orang tersebut dalam penjara, Ridwan sempat
mengidolakannya. Dia berandai - andai bahwa jika dulu orang tersebut ada saat dirinya terkena kasus, maka hukum tak
akan mempenjarakannya. Namun setelah melihatnya mengunjungi tempat seperti itu,
Ridwan merasa jijik dengan orang tersebut. Dia merasa kepercayaan terhadap
orang tersebut telah dikhianati. Ridwan tahu bahwa orang tersebut sudah
mempunyai keluarga, dalam acara kekeluargaan di televisi, orang tersebut pernah
mengungkapkan bahwa kesetiaan adalah kunci membina rumah tangga yang abadi dan
mengurangi tindakan kriminal akibat kasus rumah tangga. Namun sekarang, bagi
Ridwan itu semua adalah omong kosong.
Sekarang Ridwan
bersandar di salah satu lampu jalan yang membentang di pinggir trotoar tak jauh
dari Heaven Hall. Selain haus, capek, badannya yang renta juga sedikit sakit
setelah dijatuhkan orang - orang bertubuh kekar tadi yang mungkin saja mereka
adalah preman yang menjadi keaman di tempat terkutuk itu. Hatinya pedih saat
ini melihat dunia yang sudah berubah di luar akal sehat. Dia beranggapan
mengapa orang bersetelan rapi yang menjabat anggota dewan pemerintahan seperti
itu tidak dipenjara saja, mengapa harus dirinya yang bernasib buruk yang harus
mendekam di penjara selama ini. Jika orang seperti itu saja berkeliaran bebas,
maka apa arti dirinya sebagai mantan narapidana yang tua rentan di dunia ini.
Dia juga bingung ingin mencari kerja apa di usia yang senja. Ingin kembali ke
desanya juga takut menanggapi bagaimana reaksi keluarga- keluarganya yang
sekiranya masih hidup mengenai dirinya yang meninggalkan ibunya di saat sakit
dengan alasan mencari kerja di Ibukota, meski pendapat mereka semua adalah
salah paham besar, namun pembelaan apapun juga mungkin tak akan berhasil untuk
menyadarkan keluarganya jika dirinya mengalami musibah yang buruk saat
merantau. Yang Ridwan lakukan selama di penjara setiap malam adalah berdoa
memohon pengampunan kepada Ibunya dan Tuhan. Dia tahu ibunya sudah meninggal,
dan berharap ibunya mengerti keadaan dirinya dari alam sana.
Semakin lama dia
berfikir, semakin Ridwan merasa seolah - olah hidupnya tak berarti di dunia
ini. Dan entah bisikan apa yang merasuk di kupingnya sehingga tersersit kata -
kata MATI. Dalam pikirannya yang bingung, kata Mati seolah - olah menjadi jalan
keluar yang utama. Dengan MATI dirinya tak akan lagi menanggung derita di dunia
ini. Dengan MATI dia juga akan bertemu dengan Ibunya dan bisa bersujud
sepuasnya di kedua kakinya. Pemikiran - pemikiran kacau itu membuatnya
membulatkan tekad untuk mengakhiri hidupnya saat ini juga. Saat ini, sambil
masih berdiri di samping lampu tiang listrik di dekat Heaven Hall, Ridwan
sedang menunggu jikalau ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi akan melintas
didepannya, dia siap - siap ingin melempar tubuhnya di depan mobil itu.
Tekadnya sudah bulat untuk mati, dan dia sudah siap untuk mati secara mengenaskan
ditabrak oleh sebuah mobil. Bagaimanapun caranya tewas, toh juga tidak ada
seorang pun yang akan menangisinya.
Ketika itu, matanya tak
sengaja menangkap di seberang jalan ada sebuah anak kecil perempuan yang sedang
duduk bersila di lantai trotoar jalan,badannya
bersandar ke salah satu dinding bangunan dibelakangnya. Pandangan anak
perempuan itu mengarah kebawah sehingga wajahnya tak kelihatan. Tangannya
membawa sebuah gelas plastik kosong. Anak perempuan terlihat sangat lesu. Tidak
bertenaga. Anak perempuan itu sedang mengemis. Berharap ada seseorang yang
lalu-lalang didepannya menunjukkan rasa kasihannya dengan memberikannya
sejumlah uang berapapun itu nilainya akan sangat penting bagi dirinya. Namun apa yang dilihat Ridwan
adalah tak seorang pun yang menghiraukannya. Kebanyakan orang lebih asyik
berjalan dengan memandangi sesuatu yang lebih berharga di genggamannya daripada
menghiraukan nasib seseorang. Pemandangan itu sangat memilukan bagi Ridwan. Tak
sadar, tangannya sudah merogoh ke gocek kantongnya. Memang ada beberapa lembar
uang pemberian dari penjara setelah dia dibebaskan tadi untuk sekedar jaga -
jaga, dan Ridwan berfikir daripada uang ini dibawanya mati dan menjadi tak berguna, lebih
baik dia serahkan semua kepada anak malang tersebut. Rasa kasihannya
dilandaskan atas apa yang pernah terjadi kepada anak perempuan yang menjadi
korban penculikan yang pernah ditemukannya meski itu menjadi malapetaka
baginya, namun dia merasakan penderitaan di setiap jeritan anak tersebut.
Ridwan tidak ingin anak perempuan pengemis tersebut juga menderita seperti anak
perempuan sebelumnya.
Ketika keadaan jalan
sudah agak sepi, Ridwan dengan langkah berat berjalan untuk menyebrangi jalan
raya menuju ke troatar di depannya. Saat sudah beberapa langkah beranjak dari
tiang lampu listrik, sang anak kecil pengemis perempuan tadi menengadahkan
wajahnya memandang Ridwan. Entah mengapa, langkah kaki Ridwan menjadi berat.
Mendadak dia berhenti seperti patung saat pandangannya bertatap muka dengan
anak tersebut dari kejauhan. Entah dia gila atau tidak yang dilihatnnya
sekarang adalah anak perempuan yang 40 tahun lalu ditemukaan dengan keadaan
mengenaskan. Melihat anak korban penculikan tersebut dihatinya yang tergambar
adalah jeritan - jeritan saat anak tersebut menahan rasa sakit dan penderitaan
yang luar biasa. Namun berangsur angsur entah mengapa di hatinya timbul rasa
kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dia rasakan. Anak tersebut, tersenyum
kepadanya. Anak itu membelai rambutnya sendiri, mengingatkannya bahwa Ridwan
pernah berkali - kali membelainya saat dirinya ingin mencoba menenangkan jerit
tangisnya 40 tahun lalu. Di saat yang bersamaan ada sebuah truck yang berjalan
dengan kecepatan tinggi tidak stabil karena pengendaranya mabuk. Truk itu
dengan beringasnya menabrak tiang lampu listrik yang sudah ditinggalkan oleh
Ridwan dan berlanjut menabrak Heaven Hall. Truk itu ternyata mengangkut bensin
dan terjadilah ledakan yang luar biasa hebatnya.
Ledakan yang dasyhat
itu memaksa tubuh Ridwan jatuh ke aspal. Sambil memandangi apa yang terjadi di
belakangnya , dirinya seolah - olah tak percaya bahwa hanya ditinggal beberapa
langkah saja, tiang lampu listrik yang berada di belakangnya dan Heaven Hall
sudah hancur dan terbakar. Dia mendengar beratus - ratus teriakan yang memilukan
dari dalam Heaven Hall. Teriakan ini, dirasakannya lebih menderita dari jeritan
sang anak perempuan 40 tahun silam. Jika saja dirinya tidak beranjak dari tiang
lampu listrik itu, maka nyawanya sudah melayang. Namun aneh juga jika dia
berfikiran seperti itu, bukannya dirinya beberapa menit yang lalu berharap
untuk bunuh diri. Apakah..??? Kemudian Ridwan menoleh ke tempat diamana anak
pengemis yang wajahnya menyerupai anak korban
penculikan 40 tahun lalu. Namun sekarang anak itu sudah tidak ada.
5 comments:
mantap cerpennya, bisa dikomersilkan nih ... terus berkarya !
assalamualaikum...
semoga sukses selalu dengan cerpen terbarunya gan
Zen - Zen @ hihihi sementara cerpen-nya buat menghibur para pengunjung blog ane dulu gan :D
Bunda @ ‘Waalaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh’ Bunda :)
Faceblog Evolutions @ terima kasih gan dan sama - sama :)
Thank you for sharing thiss
Post a Comment