Tuesday, November 20, 2012

Cerpen : The Last of Us

" Maapkan aku Budi. Hubungan kita sampai disini saja. Mulai saat ini kita menjadi teman biasa."

Kata - kata Mona, masih terngiang - ngiang di benak Budi. Entah kenapa kalimat yang diucapkan Mona itu lebih mudah diingat kembali oleh Budi daripada menghafalkan rumus Fisika dan matematika. 

Dua minggu lalu. Di sebuah warung makan khusus anak muda di tengah kota. Mona mengucapkan kalimat perpisahan itu. Budi yang awalnya sangat senang sekali karena tumben Mona  mengajak keluar nge-date, toh biasanya Budi yang selalu mengajaknya dahulu, mengira Mona bakal mengajaknya melakukan sesuatu yang Romantis. Tetapi harapannya pupus sudah saat kalimat itu Mona ucapkan di tengah harapannya yang hancur.


Tiga bulan lalu, hati Budi serasa berbunga - bunga. Seorang wanita dari kelas lain yang sudah dianggap primadona, mendadak melayangkan rasa sukanya kepada Budi dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Seperti mendapat berkah, Budi benar - benar tidak bisa menolak kesempatan emas seperti ini. Teman - teman Budi pun banyak yang terheran - heran, mengapa hanya Budi yang mendapat seorang permasuiri secantik Mona ? Selain cantik, Mona adalah anak seorang konglomerat direktur perusahaan. Sedangkan Budi, hanya  anak dari seorang warga kelas menengah.

Seumur hidup Budi, dia tidak pernah membayangkan ingin berpacaran. Mendekati wanitapun dia sangat grogi. Saat diminta Mona menjadi pacarnya, keringatnya pun bercucuran tak karuan. Sebelum menjadi pacarnya Budi hanya sebatas tahu bahwa Mona adalah primadona di kelas 3 jurusan IPA. Dia tidak benar - benar paham apa yang dipikirkan Mona saat memintanya menjadi pacarnya. Tapi disaat - saat tertentu di sekolah, Budi merasa bahwa dia selalu diperhatikan oleh Mona secara diam - diam. Meski begitu, Budi tak benar - benar yakin ada perasaan di hati Mona dan dia mengacuhkannya. Ketika Mona memintanya menjadi pacar , dia baru sadar, perasaan yang diacuhkannya ternyata salah, ternyata Mona benar - benar menaruh hati padanya.

Bagaimanapun juga Budi tetap harus menerimanya. Mona adalah wanita yang cantik, kaya, dan primadona di sekolahnya. Dia juga merasa, sudah waktunya dia harus mempunyai pengalaman berpacaran. 

Sejak saat itu mereka berdua sering bersama. Budi sering menemani Mona  makan siang di kantin sekolahan. Setiap malam minggu dia selalu mengajak Mona nonton. Budi juga sering meminta bantuan Mona untuk mengajarinya pelajaran Fisika dan Matematika, karena dia bukan anak yang cerdas, jadi mereka kerap menghabiskan waktu bersama.

Ketika Mona sakit, Budi tak henti menjenguk di rumahnya. Rumah Mona sangat besar, tapi Budi tak pernah sekalipun bertemu dengan orang tua Mona yang selalu sibuk ke - luar kota. Ketika Mona sedang sedih karena jarang bertemu orang tuanya, Budi selalu menghiburnya. Ketika Mona mengutarakan cita - citanya, Budi selalu mensupportnya agar tetap semangat meraihnya. Ketika Mona ingin ke suatu tempat, ingin membeli sesuatu, ingin melihat sesuatu, ingin mendengar sesuatu, Budi selalu menawarkannya untuk mengantarkannya kemana Mona ingin pergi, meski sebenarnya Budi hanya menemani Mona saja di dalam mobil, karena Budi tak punya mobil, dia hanya mengandalkan angkutan umum, sedangkan Mona yang menyetir dengan mobilnya. Budi merasa ingin selalu ada di manapun Mona berada kalau dia bisa, Budi selalu ingin ada kapanpun kepada orang yang mencintainya, kalaupun dia tidak bisa, Mona selalu bisa mengerti alasannya dan tak pernah marah.

Tapi memang ada suatu perasaan janggal yang Budi rasakan selama jalan dengan Mona. Di saat bersama, terkadang Budi melihat Mona selalu termenung memikirkan sesuatu sampai dia tak sadar bahwa Budi sudah memanggilnya berulang kali. Sering kali saat bersama, Mona meneteskan air mata. Ketika Budi bertanya ada masalah apa, Mona selalu mengelak dan meminta agar Budi tak ikut campur. Budi juga tak terlalu memaksa untuk ingin tahu agar bisa menjaga perasaan kekasihnya. Mona juga tidak pernah mengajak Budi ke suatu tempat untuk nge-date. Mona hanya mengutarakan keinginaannya saja, sedang Budi yang selalu menawarkan diri untuk menemani Mona.

Ketika mendapat pesan bahwa Mona mengajak Budi bertemu untuk makan malam di warung khusus remaja, betapa bahagianya perasaan Budi.  Ini pertama kalinya dalam kurun waktu 3 bulan Mona mengajaknnya keluar. Saat itu, Budi dan Mona sudah lulus dari bangku SMA. Budi hanya tinggal mencari kerja karena orang tuanya tak mampu untuk membiayainya meneruskan pendidikannya ke tingkat Universitas, sedangkan Mona  sedang bingung mencari kampus yang cocok untuk merealisasikan cita - citanya. Budi mempunyai harapan jika saat bertemu nanti Mona mau membicarakan tempat kampusnya nanti agar tak terlalu jauh, karena toh kalau jauh, Budi bisa galau karena lama tak jumpa disebabkan faktor lokasi.

Saat itu pukul enam  lebih lima belas menit. Malam sudah menutupi langit. Warna hitam pekatnya seakan seperti tinta yang lumer di dalam air putih. Meskipun masih ada sisa - sisa cahaya matahari terbenam, toh tak lama warna itu akan hilang disantap oleh kelamnya malam. Bulan Mulai menampakkan diri, meskipun sebatas malu - malu dengan setengah badannya masih tersembunyi di balik awan.

Budi, memasuki pelataran parkir warung makan khusus remaja di kotanya. Setelah memarkirkan sepeda motornya, dia langsung bergegas memasuki warung tersebut. Pertama masuk dia agak kebingungan mencari Mona karena banyaknya orang yang sedang makan disitu. Budi celingak - celinguk seperti monyet yang kehilangan induknya. Tapi tak butuh waktu lama, pandangannya menemukakan tempat dimana Mona memesan tempat duduk, yakni di bagian pojok ruangan. Ada perasaan yang tidak enak  di hati Budi saat melihat Mona dari kejauhan  yang ketika itu duduk sambil menundukkan pandangannya ke bawah. Budi merasakan Mona sedang mengalami sesuatu yang membuatnya sedih.

"Wow, tenderloin kesukaanku sudah kamu pesankan ya Mona, " kata Budi secara tiba - tiba saat mendadak muncul di hadapan Mona yang membuatnya sedikit tersentak kaget.

"Kau mengagetkanku saja Budi.'' Tukas Mona. Duduklah dan segera dimakan tuh tenderloinya, nanti keburu dingin. Lagian kuk lama sekali?  Aku malah sudah menghabiskan Iga bakarku."

"Maap Mona," jawab Budi sambil menarik kursi dan kemudian duduk." Sejak kapan di kota kita tidak pernah macet kalau di malam minggu. Lihat saja betapa sumpeknya warung steak ini jika malam minggu tiba. Warung ini aja sumpek, gak bisa bayangin deh kondisi jalanan di luar sana." Eh iya, btw kamu kuk bisa datang lebih cepat dari aku Mona? Bukannya jarak rumah kamu lebih jauh dari warung ini? Tanya Budi sambil melahap potongan daging tenderloin miliknya.

"Apa sih yang gak bisa aku lakuin tepat waktu," Jawab Mona. "Aku sudah tau bakal macet, jadi aku berangkat 45 menit lebih awal dari janji kita." Namun Budi tidak menggubris omongan Mona, dia malah kelihatan asyik menyantap makanannya. " Huh dasar kamu Budi, kalau sudah soal makanan lupa dengan segalanya,"Tukas Mona kesal. Tapi setelah itu, Mona memandangi Budi dengan tersenyum. Mona memandangi Budi yang asyik menyantap makannannya dengan seulas senyum kebahagiaan. Dia begitu menikmati raut wajah Budi yang begitu lapar. Dia menikmati pipi Budi yang belepotan menjadi sesuatu yang lucu dibenakknya. Hingga tanpa sadar air mata menetes di pipinya.
"Eh, kenapa kamu Mona?" Tanya Budi ketika sadar kekasihnya meneteskan air matanya.

"Ah, tidak apa - apa ," jawab Mona pelan saat tersentak mendengar pertanyaan Budi dan sadar bahwa dia meneteskan air mata. Dia mengeluarkan tisu dari tas mungilnya dan mengusapkannya ke wajah. 

"Apa kamu mau menceritakan kepadaku sekarang apa sebenarnya penyebab dirimu selalu meneteskan air mata mendadak jika kita sedang berdua Mona?"

"Habiskan dulu makanmu Budi, setelah itu aku ingin membicarakan sesuatu kepadamu," Jawab Mona dengan seulas senyum.

"Aku sudah selesai makannya kuk Mona, " kata Budi sambil merapikan perlengkapan makan di meja, meski masih tersisa beberapa potongan daging, tapi toh Budi tak mau melanjutkan menghabiskan makanannya karena perasaannya sudah tak tenang melihat kekasihnya menangis dan membuat rasa makanan itu otomatis juga tak sedap seperti sedia kala.

"Budi maukah kamu memaafkan aku? Tanya Mona dengan memasang wajah bersalah. Seperti halnya seorang anak yang ketangkap basah mencuri mangga tetangganya.
"Apa maksudmu berbicara seperti itu Mona? Aku tak paham. Kamu tidak salah apa - apa kuk selama ini?"

"Tidak, tidak begitu Budi. Aku ini egois. Aku ini tidak jujur. " Kata Mona. Matanya kini mulai memerah karena air matanya sudah ingin berlomba - lomba menggenangi kelopak matanya.
"Ceritakan padaku apa masalahnya," Kata Budi sambil mendekatkan letak kurisnya ke dekat Mona serta menarik dan memegang tangan Mona.

"Bisakah kita berbicara diluar saja. Lebih baik kau tunggu  aku di dalam mobilku. Aku akan membayar semuanya dulu," anjuran Mona kepada Budi sambil menyerahkan kunci mobilnya. Kemudian Mona langsung bergegas menuju kasir untuk melakukan pembayaran. 

Di luar, terutama di pelataran parkir. Suasana sangat sepi. Sangat jauh berbeda dengan suasana yang ada di dalam warung. Budi, duduk sendirian di dalam ruangan mobil. Mona tak kunjung datang karena antrian di kasir juga sangat panjang. Perasaannya serasa tak enak. Apalgi mendengar pernyataan bahwa Mona telah tidak jujur selama ini kepadanya. Emosi bergejolak di hati Budi. Tapi semarah apapun Budi, dia tidak akan pernah bisa memarahi Mona. Apalagi belum jelas alasannya kenapa Mona membonginya. Dan juga membohongi soal apa? Kepala Budi seakan ingin pecah memikirkan pertanyaan itu. Pintu mobil terbuka,  dan Mona langsung masuk ke dalam dan menutup kembali pintunya. Mereka berdua bertatap - tatapan sejenak, pandangan mereka seperti saling menatap orang asing.

"Ceritakannlah apa yang selalu membebanimu selama ini Mona, " Kata Budi. Aku akan mendengarkan semuanya."
"Aku sebenarnya benci ingin mengatakan ini Budi. Setiap hari pikiranku selalu tertuju pada kebencian saat tiba dimana aku bisa mempunyai waktu untuk mengatakan ini Budi. " Kata Mona. Baiklah, aku ingin mengatakan maapkan aku Budi, hubungan kita sampai disini saja. Mulai saat ini kita menjadi teman bisa."

Kalimat itu benar - benar mengguncangkan jiwa Budi. Perasaannya bagaikan tersambar petir. Budi bangkit dari tempat duduknya dan mendekatkan dirinya kepada Mona dan menggenggam tangannya.
"Kenapa kau mencampakkan aku Mona. Berikan alasan yang tepat agar aku bisa menerimanya. Dan apakah dengan alasan itu sudah tidak ada lagi jalan keluar untuk mempertahankan hubungan kita?"
Air mata menetes di wajah Mona. Seperti air terjun yang guyuran airnya seakan tak pernah berhenti membanjiri wajah Mona.  Mona terus menatap Budi dengan wajah haru. kesedihan benar - bernar terpancar di wajah Mona. 

"Maapkan aku karena aku sudah tidak jujur. Akan kukatakan yang sebenarnya Budi,"kata Mona dengan tersedak - sedak akibat menahan tangis. Mona, mengatur nafasnya sesaat dan mengusap air matanya sebelum kembali melanjutkan ceritanya. 

"Sebenarnya aku sudah dijodohkan dengan anak teman bisnis Ayahku sejak 3 bulan yang lalu. Perjodohanku ini diharapkan bisa merangkul perusahaan teman ayahku itu untuk memperluas jaringan bisnisnya. Oleh sebab itu, aku memutuskan   hubungan ini Budi. Karena besok, aku diharuskan keluar kota menemani calon suamiku itu"

Budi yang saat itu menggenggam salah satu tangan Mona sontak melepaskannya. Dia benar - benar tak percaya dengan pernyataan Mona. Mona menyembunyikan sesuatu kenyataan yang mengerikan bagi Budi. 

"Lalu kalau kau sudah dijodohkan, mengapa kamu menyatakan cintamu kepadaku 3 bulan kemarin? Bukankah kita semestinya tidak usah berpacaran jikalau kamu sudah mengetahui bahwa akhirnya bakal seperti ini?" Tanya Budi dengan sedikit emosi dan wajah yang mulai memerah. Tapi sebenarnya Budi menahan lonjakan emosinya. Dia, takkan pernah sanggup melampiaskan emosinya kepada Mona.

"Bukannkah sudah kukatakatan bahwa aku egois. Aku memang mencintaimu, menyayangimu. Aku menaruh rasa suka padamu jauh sebelum aku menembakkmu. Tapi setelah perjodohan itu, aku yakin tak akan bisa memilikimu. Jadi aku menjadikanmu kekasihku agar 3 bulan terakhir ini arku bisa menghabiskan waktu bersamamu. Merasakan perhatianmu yang tak akan pernah bisa kudapatkan dari calon suamiku nanti. Merasakan cintamu yang tak akan pernah aku dapatkan dari calon suami yang aku belum 100% mengenalnya. Mona, menjelaskan semuanya dengan menangis tersedu - sedu.
"Jadi kamu mempermainkanku Mona?" Tanya Budi." Mona hanya bisa menangis, dan tak menjawab. Sedangkan Budi  sepertinya sudah tahu jawabannya.

Suasana hening saat tangisan Mona sudah mereda. Budi duduk merebahkan badannya di kursi mobil dengan pandaagan menerawang ke arah luar kaca jendela. Memandangi bintang - bintang gemerlip di langit. Sedangkan Mona, lega karena sudah mengutarakan beban yang selama ini dia tanggung kepada Budi. Dia memandangi Budi, menunggu apa reaksinya, karena sudah lama mereka berdiam diri.

He..he..he..he..he ..." Mendadak Budi tertawa. Mona jadi heran melihat tingkah budi. Lalu Budi berkata, " Bodohnya diriku berharap jauh bisa selalu bersama dengan dirimu Mona. Memang aku aku sudah memumpuk banyak harapan akan hubungan kita. Tapi rasanya malam ini gunung harapan yang sudah kubangun itu runtuh. Aku memaafkanmu Mona, dan aku akan mencoba melupakanmu."

Mendadak Mona bangkit dari kursinya, dia merebahkan tubuhnya ke arah Budi. Kedua tangannya memegang erat kepala Budi, mendekatkannya pada wajahnya dan segera dia mencium bibir Budi. Budi juga tak ingin kalah, dia juga mendekap erat tubuh Mona. Ciuman itu rasanya tak ingin hanya sesaat. Ciuman itu ingin selamanya mereka berdua miliki. Mereka merasakan kasing sayang, cinta dalam ciuman yang singkat itu. Tapi mereka harus berat hati karena mereka sadar ciuman itu adalah ciuman perpisahan.

Mona melepaskan bibirnya dari bibir Budi. Pandangannya menatap tajam kepada Budi. Mereka berdua, melepaskan pandangan tak rela untuk saling berpisah.

"Maapkan aku Budi. Aku berharap kamu menemukan wanita yang tak hanya dirinya yang bisa kamu miliki, melainkan juga cintanya." Itulah perkataan terakhir Mona sebelum mereka berpisah.

Kejadian dua minggu yang lalu itu masih terus terngiang di benak Budi hingga saat ini. Di dalam kamarnya, Budi terbaring dengan menatapi foto wajah Mona dalam ponselnya. Suara hujan yang berisik dan guntur yang seakan berlalu - lalang perlahan - lahan mulai surut terdengar dan mereda dari luar kamar Budi. Kemudian Budi memencet tombol delete dan menghapus foto Mona. Dia akhirnya bisa mencoba untuk melupakannya setelah 2 minggu terakhir ini selalu terbayang kejadian waktu itu dan perkataan pencampakan Mona terhadap dirinya.

Budi bangkit dari tempat tidurnya. Dia membuka kain gorden pada jendela kamarnya. Cahaya terang matahari masuk melalui kaca jendela dan menyinari seluruh ruangan kamar Budi. Kegelapan akibat mendung dan hujan sudah mereda. Budi mendapatkan pelajaran akan cinta pertamanya dan juga saat pertama kali dia berpacaran dalam hidupnya. Bahwa sesungguhnya cinta itu terkadang tak bisa memiliki. Karena jodoh dan takdir memang sudah ditentukan di atas sana. Namun Budi tetap berharap suatu hari dia menemukan pasangan yang benar - benar dia miliki tak hanya dirinya, melainkan cintanya sesuai dengan harapan Mona di saat detik - detik akhir perpisahan mereka. Budi kini bangkit kembali dari kesedihannya yang telah mengurungnya selama dua minggu. Dia ingin memulai harapan baru. Karena harapan itu tak akan pernah berakhir, seperti halnya sinar matahari yang akan selalu menerangi jikalau mendung sudah berakhir. Sinar matahari juga tak akan pernah pudar layaknya harapan baru seseorang.

Yach sebenarnya aku nggak begitu suka sih bikin cerita melow kayak gini. Tapi ya gak masalah, mudah - mudahan para pembaca menikmatinya. Kalaupun ingin memposting cerpen ini di blog kalian silahkan, tapi jangan lupa kasih sumbernya ya, biar hargai penulisnya dikit. Terima kasih :)

4 comments:

Anonymous said...

Cerpennya bagus, sob. Saya tertarik dg alur ceritanya, yg menggunakan alur mundur. Alur ini membuat kita tdk akan bosan membacanya...

The Other Side said...

Terima Kasih pak guru dah menyempatkan waktu buat membaca cerpen saya :)

Admin KlikBanjar said...

bagus juga, saya belum pernah membuat cerpen sebelummnya.. kapan2 mau bikin juga.. hhe

The Other Side said...

Silahkan mencoba membuat cerpen Bang Admin Klik Banjar, membuat cerpen tu kegiatan yang mengasyikkan kuk :) Makasih dah nmampir

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...