Ciuman pertama, menurutku hal itu
adalah sesuatu paling konyol dan bodoh sepanjang hidupku yang pernah aku
lakukan. Meski begitu, hal itu juga merupakan sesuatu yang membuatku kehilangan
teman dan menjadi salah satu hal yang tak pernah aku lupakan.
Ketika duduk di bangku kelas 6
SD, seorang cowok teman dekat dan juga menjadi yang aku idamkan, sebut saja namanya Rahman
saat itu sedang berulang tahun. Perayaan kejutan mendadak dari teman - teman
sekelas sepulang sekolah membuat rambut dan seragam Rahman berlumuran tepung
dan telur. Sebelum mengakhiri perayaan kejutan ulang tahun, semua teman sekelas
membentuk barisan menyalami Rahman yang berdiri kikuk karena hampir mirip
dengan manusia salju. Setelah bersalaman, sebagian menyerahkan sebuah bingkisan
sebagai kado ulang tahun. Ketika giliranku berhadapan dengan Rahman aku
langsung menjabat tangannya dan mengulas seutas senyum manis dihadapannya.
"Hanya jabat tangan serta
ucapan sajakah Lili? Tanpa sebuah kado?" Tanya Rahman dengan ekspresi
kikuk mungkin karena malu wajahnya serba putih belepotan akibat serangan serbuk
tepung gandum.
"Ada kadonya kuk, dan sangat
spesial,"sahutku dengan cepat. "Coba pejamkan matamu Rahman,"
pintaku dan dengan segera Rahman memejamkan matanya. Disaat itu jugalah, aku
menegakkan posisi tubuhku, dengan posisi jinjit untuk menaikkan posisi kepalaku
agar menjangkau wajah Rahman, disaat itulah aku mencium bibirnya.
Semua mata saat itu terperangah
kearahku dan Rahman. Seuasana yang ramai, sejenak menjadi hening seketika. Mata
Rahman terbelalak kaget saat mendapati diriku menciumnya dan dia dengan cepat
memundurkan badannya. Tanpa disadari, ada sebuah guru yang melihat tingkah
laku-ku dari kejauhan, dan kemudian menyuruh kami berdua untuk ke ruang guru.
Disana kami diceramahi tentang norma dan etika yang tidak lazim seperti
berciuman. Saat diceramahi dengan nada tinggi, aku menoleh ke Rahman yang
berada di sampingku. Kulihat Rahman hanya menundukkan kepala tanpa ekspresi dan
tak menoleh sedikitpun kepadaku. Sejak saat itu, Rahman tak pernah menyapaku,
hingga lulus dari kelas 6 Rahman sama sekali tak pernah bicara denganku bahkan
ketika aku mengajakknya bicara dia diam seribu bahasa tanpa menganggappku ada.
Hari ini adalah ulang tahunku
yang ke-25. Pesta ulang tahunku hari ini selesai dirayakan di cafe sepulang
kerja. Jadi di sudut ruangan kostku memang menumpuk beberapa bingkisan kado
dari rekan kerja. Sangat bahagia memang disetiap ulang tahun selalu ada yang
merayakannya entah keluarga, dan teman - teman. Namun di setiap pergantian
umur, ada suatu rasa sedih yang selalu muncul dan tak bisa hilang, yakni
kenangan akan ciuman pertamaku kepada Rahman. Dewasa ini, aku baru sadar bahwa
apa yang aku perbuat dulu adalah salah. Di saat moment kebahagiaan perayaan
ulang tahun seseorang, aku malah membuat sakit perasaan temanku dengan
melakukan tindakan konyol. Rasa bersalah itulah yang selalu membebaniku setiap
pergantian umur dan memunculkan perasaan sedih.
Rahmad adalah seorang anak dari
Ustadz ternama di Kotaku saat itu. Wajahnya memang keren walau masih di bangku
SD sempat membuat aku terlena olehnya. Ayahnya mengelola sebuah padepokan besar
dan pendakwah ternama, jadi memang tingkah laku Rahmad benar - benar saleh.
Hanya aku seorang bocah bodoh saat itu yang nekat melakukan tindakan konyol karena
ingin mendapat perhatian dari semua teman sekelas dengan menciummnya. Dewasa
ini aku baru menyadari mengapa Rahmad menjauhiku saat itu. Dengan latar
belakang pendidikan keluarga yang syarat akan agama, bagaimana rasanya mendadak
mendapatkan sebuah ciuman yang menurutnya adalah sebuah tindakan yang haram
hukumnya? Mungkin saja tindakan konyolku saat itu menciderai kejiwaannya dan
membuatnya shock.
Aku menyalakan laptopku dan
menghubungkannya ke internet lewat modem. Membuka facebook adalah tujuan
utamaku untuk melihat berapa banyak notifikasi
ucapan ulang tahun yang biasanya bejubel di pojok kanan atas. Setelah login, di
dinding berita pembaharuan paling atas, muncul sebuah poster yang bertuliskan
launching dan peresmian butik Islami. Disitu selain ada denah lokasi butik yang
akan dibuka, jadwal acara, terpampang foto sebuah wanita berbusana muslim
cantik. Yah, wanita itu adalah istri Rahman
bernama Fatimah. Dan account
yang memasang poster acara itu adalah milik Rahman.
Kira - kira setahun lalu, lewat
group alumni SD TAMANSISWA Yogyakarta di facebook, aku menemukan account facebook Rahman dan saat itu aku
meng add-nya sebagai teman. Meskipun
aku sudah diterimanya menjadi salah satu daftar dari sekian banyak temannya,
namun di saat online bersamaan, tak
pernah sekalipun kami berbincang. Entah karena aku yang takut memulai dengan
alasan masih memendam rasa bersalah atau memang karena Rahman masih membenciku.
Meski begitu, lewat facebook aku mengikuti perkembangan dirinya dari bulan ke bulan.
Aku jadi tahu bahwa sekarang Rahman sukses menjadi desainer baju Islami dan
mempunyai seorang istri dengan kemampuan personal manajemen pemasaran yang
hebat sehingga setiap butik yang dia bangun dia serahkan manajemennya kepada
istrinya untuk dikelola. Poster yang baru saja diupload lewat account
milik Rahman adalah pengunguman launching
dan peresmian butik ke-8 nya yang dia bangun dan kebetulan butik itu dibangun
di Bandung tak jauh dari tempat kost aku berada.
Langit terlihat hitam pekat dan
sedikit kemerahan. Tepat pukul 20:00 malam ketika menjejakkan kaki keluar dari
dalam taksi, hawa dingin setelah hujan kurasakan seperti hendak membekukan
sendi - sendi tulangku. Saat ini, aku berdiri di depan butik milik Rahman.
Entah ini tindakan bodoh atau bukan, aku sudah membulatkan tekad untuk
menemuinya, setidaknya untuk berbicara dan meminta maaf, agar pertemanan ini
serasa tidak hambar. Bagaimanapun menurutku ini adalah moment yang pas mumpung
dia ada di Bandung.
Ketika memasuki area gedung
butik, banyak terjejer puluhan mobil dan motor tamu undangan. Dilihat dari
banyaknya kendaraan yang terparkir, sepertinya di dalam acaranya sangat ramai.
Saat berada di pintu masuk, seorang petugas menanyai sebuah kartu undangan,
namun aku hanya menjawab bahwa aku teman masa kecil Rahman dan tanpa perlu
waktu lama petugas itu langsung mempersilahkan aku masuk dikarenakan acara sudah
berlangsung sejak tadi.
Menurutku, ini adalah butik milik
Rahman yang paling besar diantara butik - butik lainnya yang dimilikinya. Aku
bisa bilang begitu dalam hati karena aku juga melihat foto - foto butik lainnya
di album facebook miliknya.
Tiba - tiba rasa canggung
menyerangku saat ini juga dikarenakan ketika aku membaur dengan para tamu
undangan terutama para tamu perempuan, terlihat hanya aku saja yang tidak
memakai jilbab yang seakan tidak menghormati bahwa ini adalah perayaan
peresmian butik Islami. Tak berselang lama pikiran canggungku-ku hilang setelah
konsentrasiku tertuju pada Rahman yang sedang berpidato di samping istrinya di
atas panggung kecil di tengah ruangan. Tak berselang lama juga tatapan kedua
mata kami saling bertemu. Saat itu juga sambil berpidato, tatapan mata Rahman
tak pernah lepas dari diriku, seakan diriku ini adalah sasaran peluru kendali.
Dengan kondisi seperti ini, rasa canggung kembali menghantuiku, dan entah
kenapa tekad bulat diriku untuk berbicara kepada Rahman mendadak pudar. Tak
enak dengan perasaan ini akhirnya aku memutuskan untuk berjalan menuju pintu
keluar, namun sebelum menggapai gagang pintu, ada sebuah suara yang
menghentikanku.
"Tunggu Lily, berhentilah
disitu," ucap Rahman yang terdengar keras dari Michropone-nya dan memotong pidatonya yang setengah berlangsung.
Langkah kakiku mendadak membeku
mendengar ucapan dari Rahman yang seakan menggelegar di pendengaranku dan kemudian
aku membalikkan badanku. Kini aku melihat perhatian semua tamu undangan tertuju
kepadaku. Mereka semua memandangiku dengan penuh tanya tanya. Tak lama, Rahman
beranjak turun dari panggung dan mendekatiku.
Ketika Rahman berdiri didepanku,
ternyata tinggi badannya tak berbeda jauh dengan diriku saat ini. Entah apa
yang terjadi, seingatku, dia lebih tinggi beberapa jengkal saat masih di SD.
Kami bertatapan muka, namun tak ada senyum maupun sapa. Kami hanya diam dan
berpandangan. Mendadak Rahmad mengeluarkan sebuah kerudung dari saku jas nya
yang rapi, kerudung itu dia bentangkan dengan kedua tangannya dan dia pakaikan
kerudung itu di kepalaku. Tak berhenti sampai disitu, kedua tangannya dengan gesit
menata kerudung itu hingga menutupi semua rambutku dan akhirnya membentuk
jilbab yang berpola.
"Apa yang kamu lakukan
Rahman...??"Tanyaku agak gugup.
"Kau terlihat lebih cocok
jika menggunakan Jilbab seperti ini," jawab Rahman.
Jawabannya memang simpel. Tapi
mendengarnya di hatiku sedikit agak sebal. Disaat suasana hatiku sedang kacau
balau, dan dimana perhatian semua orang sedang tertuju kemari, dia malah dengan
enaknya memakaikan jilbab padaku.
"Apa maksudmu sebenarnya
Rahman??? Kau tahu sekarang banyak orang yang sedang memperhatikan kita
dan..."
"Yah benar, semua orang
memperhatikan kita, begitu juga dengan belasan tahun lalu tentang kejadian tak
mengenakkan di sekolah akibat tindakanmu. Akibat tindakanmu semua siswa
menyebarkannya dari mulut ke mulut hingga hinggap ke kuping ayahku. Dan setelah
itu timbul banyak fitnah yang tak benar perihal pertemanan kita." Jelas
Rahman dengan berkacak pinggang di hadapanku. Kemudian tanpa sadar Fatimah
istri Rahman sudah berada di samping Rahman dan memegangi pundakknya. Setelah
itu pandangannya tertuju padaku sambil berkata;
"Jadi ini yang namanya Lily?"
Kemudian Fatimah mendekatkan wajahnya ke telingaku sambil berkata pelan,
"Sebenarnya aku sangat cemburu ada seorang wanita yang pernah mendahului
mencium suamiku." Mendegar perkataannya aku jadi kaget bahwa Rahman
menceritakan masalah pribadinya ke Fatimah, dan aku benar - benar merasa tidak
enak kepada Fatimah. Namun, Fatimah hanya tersenyum setelah mengatakan itu dan
kemudian memegang kedua tanganku bermaksud untuk memberikan ketenangan di
hatiku.
"Lily, kata Rahman dan
sejenak dia menghembuskan nafas panjang. Setelah itu seulas senyum keluar dari
wajahnya. " Terima kasih sudah mau datang kemari. Aku sungguh senang dan
tidak disangka kamu mau datang. Kedatanganmu ini, membuatku bisa mengutarakan
kekesalanku atas dirimu selama ini yang aku pendam. Aku sudah puas bisa
mengutarakannya kepadamu. Dan juga aku ingin minta maaf."
"Minta Maaf" Sergahku.
Bukannya aku yang harus minta maaf?" Tanyaku bingung kepada Rahman.
"Tidak, tidak seharusnya
kamu yang minta maaf. Tidak seharusnya aku memutuskan hubungan pertemanan kita
waktu itu. Aku saat itu adalah seorang bocah yang egois, yang tak bisa menyikapi
masalah dengan benar dengan cara malah memutuskan hubungan Sillaturahmi kita
dengan meninggalkan berbagai perasaan yang menggantung. Jadi sekali lagi
maafkan aku Lily."
"Oh, ya, Jilbab yang kamu
pakai itu," tambah Rahman sambil menunjukkan jarinya ke arah
kepalaku," Jilbab itu adalah kado ulang tahun dariku untukmu. Tak kusangka
kamu juga cantik jika memakai Jilbab."
- THE END -
10 comments:
Cerpennya bikin melting :')
Aku suka sama karakter Rahman, kayaknya dia tipe orang yang baik dan perhatian. Cuman penasaran aja, apa si Rahman ini pernah punya perasaan khusus ke 'aku'? Hehe :)
Elfrida Chania @ Walah pakai melting segala :) Sebetulnya bukan masalah perasaan cinta yang dialami Rahman, namun perasaan sayang akan persahabatan, toh mereka kan awalnya teman dekat :)
Fhatin Amelia @ Makasih juga fatin udah berkunjung :)
Best cerpennya :-)
bagus la..
rajinnya tulis cerpen.. =)
singgah dan follow sini..
Hahahha, Nice:d
Ini cerpen dibuat sendiri sob?
Bagus juga, ijin nyimak sobat :D
nmn @ Best juga yang komen dan aku haturkan terima kasih :)
azlia @ Terima kasih pula la teman :D
Fathiyah @ Makasih dah follow :)
Nur Syuhaidah @ hahaha tahnk you very much :)
Motamatika @ Iyalah Pak Guru ane pasti buat sendiri, Pak Guru mah sukanya tanya gtu melulu, dosa tau posting cerpen orang lain, hehehe :)
Makasih yah dah mau luangin waktu buat baca karya saya :)
wah, suka bikin cerpen mas,
kapan-kapan boleh dong sharing di grup saya ya.. banyak di sana yang suka sastra dan hal-hal berkaitan dengan kepenulisan.
Andreansyah @ saya suka berkhayal, jadi media untuk nyampeiinya emang tulisan dan di blog untuk sementara ini :) Makasih loh bang infonya dan dah mau komentar :)
Post a Comment