Kadang
perasaan kesal ini sering sekali muncul begitu saja. Perasaaan ini kadang
muncul saat aku melihat teman – teman lelakiku memainkan olahraga sepak bola di
lapangan sekolah. Saat teman – teman wanitaku beradu cepat memainkan lompat
karung di halaman depan kelas. Saat semuanya berkumpul berdiri membentuk
barisan paduan suara di dalam kelas, melantunkan lagu dengan serempak-nya,
membuahkan alunan yang merdu untuk didengarkan.
Perasaaan
kesal ini timbul karena melihat wajah – wajah mereka diselimuti oleh kebahagiaan.
Ekspresi gembira para teman lelakiku saat berebut bola di lapangan membuat
tanganku mengepal erat seakan ingin meninju seseorang. Ekspresi
penuh persaingan para teman wanitaku yang menggebu – gebu dan berubah merah
seperti gunung yang ingin meletus saat mereka berkompetisi dalam kelompoknya
masing – masing, beradu cepat untuk mencapai garis
finish dalam permainan lompat karung membuat keningku tanpa sadar dipenuhi
keringat dan debar jantungku meningkat. Ekspresi semua temanku saat melantunkan
nyanyian dalam paduan suara, membuat aku menggigiti jari – jemariku sendiri
hingga memerah.
Aku
memang dilahirkan tidak sempurna. Saat pertama kali keluar dari rahim ibuku,
semua dokter terdiam saat mengetahui aku tidak menangis, mataku terpejam, namun
kaki dan tanganku masih terus bergerak – gerak. Para dokter yang sudah berusaha
mengeluarkanku merasa khawatir dengan keadaanku. Hanya ibuku saja yang menangis
penuh kebahagiaan dan memelukku. Namun kebahagiaan ibuku tak berlangsung lama,
karena beberapa jam setelah itu, saat pemeriksaan diriku lebih lanjut setelah
dilahirkan, aku divonis dokter mengalami kebisuan. Aku bertanya – tanya, apa
kesalahan yang aku perbuat selama di rahim ibuku sehingga dokter mengabarkan
hasil pemeriksaannya yang menjelaskan kepada ibuku bahwa aku tidak hanya
mengalami kebisuan, tetapi daya tahanku juga lemah, dan lagi penglihatanku
tidak akan maksimal. Ibuku dapat sedikit tersenyum bahagia dalam kesedihannya
saat dokter mengatakan bahwa aku masih dapat tumbuh dewasa meski dengan berbagai
kekurangan.
Seharusnya
aku menjalani masa pendidikanku di sekolah khusus orang cacat agar mendapatkan
pelayanan pendidikan kurikullum sesuai dengan keadaanku. Namun karena faktor
lokasi sekolah yang begitu jauh, ibuku tak ada pilihan selain
memasukkanku di sekolah negeri. Aku memang telat setahun memasuki sekolah
negeri, karena di umur 6 tahun, aku setahun lebih dulu menjalani pendidikan isyarat melalui tangan
untuk berkomunikasi, dibimbing oleh guru privatku. Setelah
itu, baru aku memasuki sekolah dasar.
Ini
tahun ke empatku berada di sekolah dasar. Sudah 3 tahun aku menjalaninya tanpa
masalah dalam bidang pendidikan, khususnya dibidang teori. Meskipun tidak
terlalu cerdas, tapi aku bersyukur bisa memperoleh nilai lebih baik dari
beberapa temanku. Hanya di bidang mata pelajaran tertentu saja yang dalam 3
tahun ini membuatku kesal dengan sendirinya saat mengikutinya. Karena daya
tahanku yang lemah, ibuku membuatkanku surat izin
agar tidak mengikutsertakan aku dalam setiap pelajaran olahraga. Karena aku
bisu, dalam pelajaran seni, terutama seni
suara, aku juga hanya bisa duduk manis melihat dan mendengarkan teman – temanku
bernyanyi.
Aku
berusaha menghilangkan perasaan kesalku selama ini. Namun tampaknya belum ada
jalan keluarnya. Malah aku berfikir perasaan kesal ini, semakin lama semakin
menjadi – jadi. Kadang di rumah saat menonton acara televisi, mendadak aku juga
kesal saat melihat beberapa orang anak memegang medali menjuarai kejuaraan
renang. Kadang aku juga kesal melihat seorang pengemis menjuarai sebuah kontes
menyanyi. Kadang aku kesal juga melihat banyak anak kecil seusiaku yang
karyanya dibukukan dan menjadi terkenal. Ketika
anak kecil tersebut diwanwancarai apa rahasia bisa menulis karya hebat seperti
ini?
Dia hanya menjawab simple yakni dengan
banyak membaca. Aku sebenarnya juga suka membaca, teman – teman di kelas juga
sering menjuluki aku kutu buku hanya karena
aku memakai kacamata dengan lensa tebal karena penglihatanku yang kurang bagus dikarenakan bawaan sejak lahir, jadi penampilanku seperti culun
saat memakainya. Akhir - akhir ini aku juga sering
menghabiskan waktu membaca ensiklopedia di perpustakaan saat
pelajaran olahraga dan seni suara, daripada menjadi seperti gunung merapi yang
ingin meletus karena mendadak timbul rasa kesal di hati ini jika hanya berdiam diri dan melihat teman – temanku
berolah-raga serta menyanyi. Namun Dokter langgananku, dikarenakan tubuhku yang lemah, maka setelah menginjak umur 5 tahun aku
diwajibkan memeriksakan kondisiku setiap bulannya, menganjurkan
aku tidak boleh membaca lebih dari 6 jam
sehari, karena akan berpengaruh kepada saraf mataku yang lemah jika mataku ini
terlalu letih membaca.
Saat
ini aku duduk dengan perasaan jengkel memandangi teman – teman lelakiku
memainkan bola di lapangan. Entah kenapa aku tidak ingin pergi ke perpustakaan
saat pelajaran olahraga seperti biasanya untuk
menghilangkan rasa kesal jika melihat teman - temanku bermain.
Mungkin karena akhir pekan kemarin
aku banyak melihat pertandingan bola jadi hari ini aku masih belum puas dan
tetap ingin melihat teman – temanku bermain, meski rasa kesal ini juga sedikit
merusak suasana. Aku merasakan ada seseorang yang duduk di sampingku, namun
perhatianku masih terpaku pada pertandingan bola, sehingga tak menoleh untuk
menghiraukan siapa yang duduk
disampingku.
“Tak
usah sampai mengepalkan tangan seperti hendak memukul orang saja. Aku jadi
merinding melihatmu seperti itu Roy.”
Terdengar ucapan seorang gadis yang sepertinya aku kenali. Saat aku menoleh,
ternyata Dinda, teman wanita sekelasku. Dinda setahuku orangnya aktif di
berbagai organisasi dan panitia sekolah, jadi akan jarang menemuinya jika tidak
dalam pelajaran di kelas. Aku Heran,
mengapa dia duduk disini dan tidak ikut bermain badminton dengan teman wanita
lainnya? Aku kemudian menanyakan kenapa tidak ikut olahraga dengan bahasa
isyarat. Namun kupikir dia tak akan mengerti artinya. Memang kebanyakan temanku
di kelas hanya akan mau berfikir untuk memahami bahasa isyarat
tanganku dengan serius kalau hanya menyangkut pelajaran, terutama saat diskusi kelompok, sedang diluar itu, mereka banyak
yang acuh tak acuh.
“Aku
berbohong kepada Pak Guru kalau badanku kurang fit hari ini,”
sahut Dinda. Memang mengherankan, Dinda menanggapi bahasa isyaratku secepat
itu, biasanya teman – temanku yang lainya butuh waktu yang lama untuk
menelaahnya. Lalu aku meneruskan dengan bahasa isyarat lainnya untuk menanyakan
alasannya berbohong. Dia lalu menjawab dengan tidak
semangat bahwa dia melakukan itu karena dia tidak suka olahraga. Jawabannya
membuatku terkejut. Aku beranggapan bahwa Dinda
yang dikaruniai fisik sempurna tanpa cacat malah tidak menyukai olahraga.
Sangat terbalik dengan diriku yang berharap bisa sembuh dari segala kekurangan
dalam tubuhku agar punya kesempatan untuk mencoba bermain bola. Lalu aku
menanyai lagi mengapa dia berkata seperti itu? Dinda hanya menjawab, “Nanti
setelah pulang sekolah, aku memimpin rapat anggota untuk mempersiapkan
kegiatan acara ulang tahun sekolah kita bulan
depan Roy. Jadi daripada menghabiskan tenagaku untuk hal yang tidak kusuka
seperti olahraga, lebih baik kusimpan untuk sesuatu yang benar – benar aku
antusias untuk melakukannya. Tahukah kamu bahwa posisi ketua yang selama ini
aku idamkan di organisasi sekolah bisa aku dapatkan. Kepercayaan dari banyak
orang yang sudah memilihku, dari adik kelas sampai kakak kelas, aku benar –
benar punya tanggung jawab besar Roy.”
Aku duduk dideretan paling depan saat berada di ruangan
seni. Guru seniku, sebenarnya yang memintaku untuk berada di urutan paling
depan, karena faktor penglihatanku. Hampir semua guru mata pelajaranku sudah
memahami dengan benar kondisi tubuhku. Dinda, saat ini duduk berada persis di
sisi sebelah kiri mejaku. Kata - katanya tadi masih membuatku bingung mengenai
alasan dia berbohong untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga agar bisa
memaksimalkan kerjanya saat memimpin rapat kelompok sepulang sekolah nanti. Aku
mengamatinya sesaat, wajahnya sudah berubah semangat saat pelajaran seni, dia
sudah normal kembali.
Pelajaran seni melukis memasuki kelas 4 sudah berbeda
dengan kelas sebelumnya. Kalau sebelumnya kami hanya menggambar dengan pensil
dan mewarnai dengan crayon maupun pensil warna, sekarang kami diajarkan
menggambar dengan menggunakan kuas diatas kain kanvas.
Ini baru pertama kalinya kami semua melukis dengan kuas.
Guru membimbing kami dengan serius. Banyak temanku yang mengeluh kesusahan dan
tinta warnanya belepotan tak karuan menyebar ke segala arah. Tapi, aku merasa
hanya diriku yang tidak menemui masalah. Aku melukis dengan sangat lancar. Aku
melukis sebuah pemandangan desa yang sangat indah, hingga beberapa saat kemudian
aku sadari raut wajah Iqbal teman sekelasku yang saat ini duduk persis di
sebelah kananku terlihat sangat marah melihat hasil lukisanku yang bisa dikatan
bagus untuk pemula.
Iqbal, adalah temanku yang pintar menggambar. Dari kelas
1 sampai 3 kemarin dia satu - satunya
temanku yang selalu mendapat pujian saat menggambar dengan menggunakan pensil.
Saat aku lihat hasil melukisnya dengan
menggunakan kuas, aku sedikit tertawa melihatnya. Melihatku tertawa Iqbal
menjadi sangat marah, dia menumpahkan gelas isi cat airnya ke kertas kanvasku,
sehingga membuat lukisanku berantakan. Seakan tak bersalah, Iqbal tertawa
gembira dan mengatakan bahwa kenapa orang sepertiku yang penglihatannya kacau
bisa melukis. Dia menambahi bahwa orang normal lebih pantas menjadi pelukis.
Perkataannya benar - benar menyakiti hatiku. Meski emosi,
aku sadar aku tak akan menang bila mengajaknya berkelahi, tenagaku seperti bayi
yang bila menggiring bola setengah lapangan saja sudah pasti ngos - ngosan. Jam
pelajaran seni berakhir, saat semua mengumpulkan hasil karyanya, aku benar -
benar dimarahi guruku karena hasil karyaku yang tidak karuan. Andai saja guruku
tahu ini perbuatan Iqbal.
Aku berdiri termenung di depan kelas, hingga sebuah
tangan menepuk bahuku. Aku menengok ternyata Dinda yang menghampiriku. Dinda
menceritakan bahwa dia mengetahui semua yang terjadi mengenai aku dan Iqbal.
Dia menyarankanku agar aku mengikuti lomba melukis yang diadakan saat perayaan
hari ulang tahun sekolah. Dinda menyuruhku melukis seindah yang aku bisa di
rumah dan memberikan kepadanya saat sudah selesai nanti. Pemenang akan
diumumkan saat hari perayaan ulang tahun sekolah. Aku menyanggupi
permintaannya, sebelum meninggalkanku, Dinda mengakui bahwa lukisanku jauh
melebihi Iqbal. Perkataannya memberiku dorongan semangat, aku mulai melupakan
kesedihanku.
Ibuku heran, kenapa akhir - akhir ini aku minta dibelikan
banyak kertas kanvas dan juga cat warna. Ibuku sempat banyak mengomel karena
lantai kamarku sering kotor terkena cat warna saat aku berlatih melukis. Dan
juga aku sering lalai mengerjakan PR-ku dan sering ditegur guru, karena
sebagian besar waktuku, aku gunakan untuk berlatih melukis. Tapi, kemarahan
ibuku reda saat melihat hasil latihanku melukis. Ibuku terus memujiku, lantas
bertanya ada perihal apa yang menyebabkan aku sering dan giat berlatih melukis.
Aku menjawab aku ingin mengikut sertakan karya lukisanku di lomba ulang tahun sekolah
nanti. Ibuku langsung mendoakanku agar mampu menjadi yang terbaik. Aku bertanya
kalau misal tak juara, apa karyaku akan sia - sia? Ibuku menjawab tetap
lukisanku yang terbaik bagi ibuku.
Saat aku berlatih melukis, aku jadi ingat alasan Dinda
saat tak ikut pelajaran olahraga dengan berbohong. Sama halnya denganku, aku
menghabiskan waktuku dengan giat berlatih melukis hingga melalaikan banyak PR,
meski tidak semuanya, hanya beberapa yang aku rasa aku tak akan mampu maksimal di
mata pelajaran itu, namun aku tetap belajar agar mendapat nilai syarat minimal di
rapot nanti. Saat berlatih, aku merasakan antusiasme seperti halnya antusiasme
Dinda saat diserahi jabatan sebagai ketua kelompok yang diidam - idamkannya.
Aku jadi sadar bahwa Dinda menyukai hal berbau kepemimpinan dan pengelolaan
organisasi. Jadi saat itu dia meninggalkan hal yang tak disukainya seperti
olahraga dan fokus kepada sesuatu yang dia yakini sebagai jati dirinya. Aku
menebak - nebak pasti Dinda punya cita - cita menjadi manajer atau pemimpin.
Dan aku juga terbersit di pikiran bayang - bayang ingin menjadi pelukis.
Saat perayaan ulang tahun sekolah aku tak kuasa menahan
rasa bahagiaku melihat papan pengumuman menyuarakan namaku sebagai juara 1
melukis. Aku memotret papan pengumuman itu dan mengirimkannya ke ibuku melalui
ponsel. Membagi rasa bahagiaku kepada ibuku. Dinda juga memberiku semangat. Dia
bertanya, apa judul lukisan yang aku gambar? Karena aku menyerahkan lukisanku
kemarin padanya tanpa judul. Aku jawab judulnya surga. Aku menuangkan imajinasi
keindahan ke kertas kanvas sebuah pemandangan pulau Raja Ampat di provinsi
Papua Barat yang aku baca di ensiklopedia saat di perpustakaan dan menambahinya
dengan berbagai bangunan dari aneka arsitektur dunia, terutama prancis dan
inggris. Perpaduan yang aneh, tapi aku lega jadi juaranya. Tak lama, Iqbal juga
datang memberiku selamat meski dengan rupa kecut. Dia juga tak lupa meminta
maaf atas perilakunya kemarin meski juga aku merasa dia tak benar - benar
ikhlas, tapi aku tak mempermasalahkannya.
Saat ini, ketika menjadi seorang juara lomba melukis, aku
sadar bahwa selama ini aku sangatlah bodoh selalu berdiam diri, merenung dan
selalu merasa kesal dengan sesuatu yang tak bisa aku lakukan seperti bermain
bola, bernyanyi dan sebagainya. Ketika aku menjuarai lomba melukis, aku sadar
bahwa kekurangan apapun yang ada di dalam tubuh seseorang, pasti ada sesuatu
yang dimilikinya dan tak dimiliki oleh orang lain. Awalnya memang kupikir aku
tak akan bisa melakukan apapun yang bisa dilakukan oleh anak yang normal tanpa
cacat. Tetapi sekarang pikiranku tidak sempit lagi, bahkan orang yang penuh
kekurangan sepertiku mampu melukis surga yang banyak menarik semua perhatian
teman dan guru - guruku yang menjadi jurinya. Bisa saja kemapuan milikku ini
adalah bakat yang diberikan Allah untukku. Tugasku di dunia mulai sekarang
adalah berusaha mengembangkannya. Aku tahu, bakat ini diberikan olehku dari
Allah, dan jika aku bisa memaksimalkannya nanti, itu akan menutupi segala
kekuranganku, tentunya dengan prestasi di bidang seni.
Bagaimana cerpen aku kali ini? Apa kalian menikmatinya? Kasih komentar ya. Silahkan kalau kalian ingin mengkopi atau memposting cerpen karya aku, asal jangan lupa sertakan sumber dan penulisnya, dengan tujuan untuk menghargai sebuah karya, terima kasih :)
15 comments:
terima kasih banyak untuk berbagi informasi ... Semoga Tuhan memberikan yang terbaik buat Kita Semua
wah, keren cerpennya, ttp semangat berkarya :D
duduk, sambil baca cerpen,,, :)
cerpan yang sangat bagus, :D
Terima kasih semuanya yang sudah menyempatkan waktu buat baca cerpenku ^,^
terukan menulis..^^
Karya seni yg nikmat utk dibaca. Dibalik kekurangan fisik, ada kelebihan yg mungkin tak dipunyai manusia normal. Si "aku" yg bisu dan lemah sanggup berbicara dg hati, bukan dg mulut...Kita yg normal, kadang2 susah bicara dg hati, banyak bicara dg mulut... Oh ya, salut buat sobat...
bagus bang cerpennya.. lanjutkan ya :)
.
keren sob cerpennya,,dulu wakti SMP ane juga doyan nulis novel tapi sekrang utinggal bisa berpusi sedkit2,hehe
Gak semua orang bisa bikin cerpen.. b ang admin punya bakat yang bagus untuk bikin cerpen.. saluuuttt..
Sekali lagi ucapkan terima kasihj bagi kalian semua yang udah nyempatin waktu buat baca karyaku :)
rajin bikin cerpen
was here
saya suka banget dengan ceritanya :)
kunjungan perdana di tunggu kunjungan baliknya
Febry Ramadhani@ terima kasih mbak febry atas kunjungannya :)
Post a Comment